Tahun Batak Dimulai Saat Terbenamnya Bintang Orion di Ufuk Barat
Astrologi Batak
Sejak dahulu kala, ternyata nenek moyang orang Batak
telah mengetahui perkiraan waktu dan rasi bintang, sebagaimana halnya dengan
bangsa Yunani dan bangsa Cina. Kelahiran seseorang dikatakan ’Masiboan Porda na do tu langgu ni
sasabi, masiboan bagianna do tu si ulu balang ari’. Inilah
hasil penelusuran Dr Sudung Parlindungan Lumbantobing soal astrologi di Tanah
Batak.
Berdasarkan pemikiran para
Datu bidang astrologi Batak di sepanjang Pantai Barat, Pantai Timur, serta
pedalaman Tanah Batak,
Dari hasil penelusuran tokoh yang sering memakai nama
samaran Mamak Sulto ini, ada strata ilmuwan Batak. Stratifikasi intelektual
atau tingkatan cendekiawan dalam susunan masyarakat Batak dahulu terdiri dari
Guru, kemudian Datu, dan terakhir Ompung atau Ompu. ”Predikat Keguruan
seseorang diperoleh dari pengamatan dan penelitiannya, kemudian mengajarkan
kepada para Datu. Seorang Datu dipercaya sebagai manusia yang sarat dengan
pengalaman, perguruan, maupun ilham yang diperoleh. Sedang Ompu diakui otoritas
dan kebenaran kata-katanya, pengaruhnya terutama kepada keturunan dan generasi
di belakangnya, Jumlah Guru lebih sedikit, sedang jumlah Datu
lebih banyak.
Beberapa Guru yang populer abad ke-16 di kalangan orang
Batak antara lain Guru Tinandangan, Guru Hatia Bulan, Guru Ramiti, Guru
Mangaloksa, Guru Manomba Bisa, Guru Patimpus, Guru Sananga Diaji, Guru
Humundul, Guru Tatea Bulan, Guru Somalaing, dan beberapa lagi.
Sedangkan para Datu terdapat pada setiap induk marga, di
antaranya Datu Pulungan, Datu Dalu, Datu Parmanuk Holing, Datu Mallatang
Malliting, Datu Boru Sibaso Bolon, Datu Horbo Marpaung, Datu Jolma So Begu,
Datu Parpansa Ginjang, dan lainnya. ”Ada juga Datu yang dibangkitkan menjadi
Guru, sehingga memperoleh kedua predikat kebolehan itu,
Semua sumber ilmu pengetahuan guru dalam buku (pustaha)
berawal dari Mulajadi Nabolon, yang mereka tulis sendiri dan ditambah hasil
penemuan dan pengalaman baru. Ilmu itu diajarkan terbatas kepada para muridnya,
terutama pada Datu. Juga ditulis dalam Buku Pustaha masing-masing guru.
Salahsatu buku penting menyangkut ’Tingki’
(waktu), yang disebut parhalaan.
”Hampir semua guru memilikinya, dan juga digunakan para Datu setiap kerajaan.
Terakhir, banyak para guru menyalinnya dan diberikan kepada para ’Datu’ untuk
digunakan,
Mencermati berbagai sumber terutama dari bagian buku
Pustaha, tulisan orang-orang Eropah/laporan mereka serta keterangan para orang
tua, kesadaran orang Batak tentang Tingki
(masa atau waktu) sudah sangat tinggi. ”Tingki atau waktu dalam satu hari pada
awalnya terdiri dari 5 fase,”jelas Dr Sudung. Yakni Sogot, kemudian menjadi Pangului, selanjutnya Hos, kemudian Guling, dan terakhir Bot. Setelah disadari
pembagian itu hanya terjadi di siang hari, maka guru lainnya mencatat waktu
malam, yakni samon,
sampinodom, tonga, tahuak manuk, dan terakhir torang. Begitulah
sirkulasi seterusnya kembali sogot,
pangului, hos, guling, bot, samon, Sampinodom, tonga, tahuak
manuk, dan torang.
Terakhir para Guru dan Datu Jenius mengadakan pertemuan
dan menyepakati, satu hari adalah 24 jam. Dan untuk siang hari, pembagian
waktunya yakni Binsar
mataniari pukul 6, Pangului
pukul 7, Tarbakta
pukul 8, Tarbakta
Raja pukul 9, Sagang
pukul 10, Humara
Hos pukul 11, Hos
Ari pukul 12, Guling
pukul 13, Guling
pukul 14, Dua
Gala pukul 15, Sagala
pukul 16, dan Bot
Ari pukul 17.
Kemudian untuk malam hari dibagi sebagai berikut, Sundut
Mataniari pukul 18, Samon pukul pukul 19, Hatiha Mangan pukul 20, Tungkap Hudon
pukul 21, Sampinodom pukul 22, Sampinodom na bagas pukul 23, Tonga Borngin
pukul 24, Haroro ni Panangko pukul 1, Tahuak Manuk Sahali pukul 2, Tahuak Manuk
Paduahon pukul 3, Buha-buha Ijuk pukul 4, Torang Ari pukul 5.
”Dari pengamatan berikutnya, perbedaan antara hari demi
hari disebut dalam istilah perkiraan 1 minggu, sebagaimana terdapat pada
kalender Julian,” kata Dr Sudung. Hari Minggu disebut orang Batak Artia. Senin
dinamai Suma, Selasa dinamai Anggara, Rabu disebut Muda, Kamis dinamai
Boraspati, Jumat disebut Singkora, dan Sabtu disebut Samisara.
Uniknya, kata Dr Sudung lagi, kalau bangsa-bangsa lain
memberi nama hari untuk setiap minggu itu sama, maka orang Batak, dari
pengamatan dan pengalamannya, hari demi hari dalam setiap minggu ada perubahan.
Karena itu, meski dasar-dasar hari itu sama, namun pada minggu kedua, nama hari
berubah. Misalnya, hari Minggu pada minggu kedua dinamai Artia ini Aek, Senin
disebut Suma Mangodap, Selasa dinamai Anggara Sampulu, dan seterusnya.
Yang istimewa, para Guru Batak zaman dulu menyadari bahwa
setiap tanggal 15 pertengahan bulan adalah Bulan Purnama. Sehingga setiap hari
tanggal pertengahan bulan tetap nama harinya, yakni dinamakan Tula. ”Mereka telah
menyadari, bahwa rata-rata setiap bulan terdiri dari 4 minggu, dengan setiap
hari diberi nama dengan 30 nama hari, dan ada 12 bulan dalam setahun. Mereka
juga menyadari adanya tahun kabisat,” jelasnya.
Pengalaman mereka, dari 30 tahun ada 19 kali menggunakan Parhalaan dengan perkiraan
hari 354 hari dalam setahun, dan 11 kali dalam 30 tahun menggunakan hari 355.
Sehingga dalam penggunaan Parhalaan,
dipakai adanya bulan 13 untuk penetapan hari/bulan/tahun. Dengan Parhalaan 2 jenis, yaitu
satu yang bulannya 12 satu tahun, dan satu lagi untuk tahun kabisat dengan
perkiraan bulan ke-13 dari 30 tahun itu. Sedang rata-rata seluruh bulan tetap
dihitung 30 hari.
Perhitungan tahun Batak atau permulaan Tahun Batak
dimulai saat terbenamnya Bintang Orion di ufuk Barat, atau saat terbitnya
Bintang Scorpio (Hala) di langit sebelah Timur. ”Dengan demikian, tergambar
hubungan Bulan-Bintang-Bumi, dan Matahari dengan manusia yang menghuni bumi,”
jelasnya.
No comments:
Post a Comment