Footer Widget #4

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Wednesday, March 30, 2011

Baik Buruk Penuntasan Masalah

Foto Eksekusi Hukuman Mati Dr Soumokil Pimpinan RMS tahun 1960-an
Pakar sejarah mengatakan menemukan lokasi makam mantan Presiden Republik Maluku Selatan Dr Soumokil bak mencari jarum dalam jerami. Demikian disampaikan sejarawan Anhar Gonggong menanggapi desakan aktivis RMS di Belanda agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan keberadaan makam tersebut.

Tuntutan pencarian keberadaan makam “proklamator” Republik Maluku Selatan Dr Soumokil itu merupakan salah satu tuntutan yang diajukan John Presiden Republik Maluku Selatan di pengasingan, John Wattilete.

Menurut Anhar, keadaan 1960-an jauh berbeda dengan saat ini. “Jangan bayangkan seperti eksekusi terorisme yang disiarkan langsung di televisi,” kata sejarawan Universitas Indonesia ini, Kamis (7/10). Saat itu segalanya dilakukan tertutup dan tidak yang mempermasalahkan Hak Asasi Manusia.

Christian Robbert Steven Soumokil, lahir 1905, turut mendirikan Republik Maluku Selatan pada 25 April 1950. Sebulan kemudian lulusan Universitas Leiden Belanda ini menggantikan JH Manuhutu sebagai Presiden RMS.

Pada awal 1960-an, kata Anhar, Presiden Sukarno mengambil langkah keras terhadap gerakan-gerakan separatis. Di bawah pimpinan Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution, Jakarta memberangus pemberontakan yang muncul di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa Barat. Tidak terkecuali RMS. “Pemimpin-pemimpin gerakan dieksekusi tanpa ada pengadilan,” katanya.

Hampir semua pemimpin gerakan tertangkap hidup, kecuali Abdul Qahhar Mudzakkar yang tewas saat kontak senjata pada 1965. Eksekusi dilakukan secara rahasia, sehingga tidak ada yang tahu lokasinya kecuali pasukan yang bertugas dan pimpinan di garis komandonya.

Nasib serupa dialami Dr Soumokil. Menurut Anhar, dia tertangkap di Maluku pada 1962 dan dieksekusi tanpa pengadilan tahun berikutnya. Versi lain, seperti dikutip dari Wikipedia, menyebutkan Soumokil tertangkap di Pulau Seram, 2 Desember 1963. April 1964, Pengadilan Militer menjatuhinya hukuman mati dan dilaksanakan pada 12 April 1966 di Pulau Obi, Utara Jakarta.

Pasca ekskusi, Anhar melanjutkan, sulit mengetahui nasib jenazah. “Selesai menembak, tugas pasukan selesai,” kata penulis biografi Qahhar Mudzakkar ini. Masyarakat hanya mengetahui informasi kematian pemimpin pemberontak dari media massa. “Itu pun sekedar ‘Dr Soumokil Sudah Tewas’, tidak pernah beritakan detil,” katanya.

Menurutnya, generasi tentara sekarang, termasuk Presiden Yudhoyono, tidak mungkin tahu letak makam Soumokil. Itu pun dengan catatan jenazah Soumokil dikuburkan. “Klaim di Pengadilan Belanda mengada-ada,” kata Anhar.

Saturday, March 19, 2011

Pendekar-pendekar Padri Harimau Nan Salapan (Wahabi) di Minangkabau

Istilah Harimau Nan Salapan sudah memasyarakat di Ranah Minang sejak dimulainya perjuangan pengusiran penjajah oleh Abdullah Tuangku Nan Renceh 1803. Masa itu diperkirakan Nan Renceh berumur 35 tahun. Kiprah Tuangku Nan Renceh dalam perjuangan mengusir kaum penjajah sudah termashur dengan perang kamang.

Disebut sebagai Harimau Nan Salapan karena jumlah anggotanya delapan orang, yaitu :

  1. Tuangku Nan Renceh,
  2. Tuangku Kubu Sanang,
  3. Tuangku Ladang Laweh,
  4. Tuangku Padang Lua,
  5. Tuangku Galuang,
  6. Tuangku Koto Ambalau,
  7. Tuangku Pamansingan dan
  8. Tuangku Haji Miskin.

Menurut DP Asral, seorang pengamat sejarah Minangkabau asal Bukittinggi, gelar tuangku mereka sandang bukan semata karena mereka paham dan mengerti serta mengamalkan ajaran Islam dengan baik. Tetapi lebih disebabkan mereka berani berjauang memimpin pasukan menyerang kaum penjajah. Artinya merekalah orang-orang terkemuka, atau disebut saja sarjana masa itu.

Kata Onggang Parlindungan dalam buku Tuangku Rao, Harimau Nan Salapan, juga dikenal sebagai Presedium Negara Darul Islam Minangkabau pada masanya. Tuangku Nan Renceh mereka tunjuk sebagai Ketua Presedium. Cita-cita Nan Renceh sangat besar. Dia ingin membebaskan Tanah Jawi (Nusantara) ini dari kegelapan Islam dan cengkraman penjajah. Sebagai langkah awal, Kelompok Delapan ini membuka selimut hitam yang mengatapi Minangkabau. Masyarakat Minang yang pada masa itu terlena dengan kebiasaan bersuka ria, menikmati hidup dengan keramaian judi dan sabung ayam, menjadi sasaran utama untuk dibersihkan.

Sejarah mencatat, usaha pembersihan ini tidak semudah membalik telapak tangan. Sebab, kaum adat yang suka menikmati hidup duniawi, merasa kesenangannya terusik. Karena itu mereka pun mengadakan perlawanan terhadap gerakan kaum putih yang dipimpin Nan Renceh. Berkat ketegasan dan kematangan rencana dari kaum putih ini pula, akhirnya Ranah Minang bisa juga dikuasai kaum ulama. Selanjutnya, perjuangan Harimau Nan Salapan menghasilkan perdamaian antara kaum adat dan kaum agama di Minangkabau pada tahun 1834. Perdamaian ini pula yang dikenal sebagai Kesepakatan Bukit Marapalam yang membuahkan istilah ABS-SBK (Adat Basandi Syarak – Syarak Basandi Kitabbullah). Tuangku Nan Renceh sendiri tidak hadir dalam upaya perdamaian ini karena dia gugur dalam pertempuran melawan Belanda di Bukittinggi, 1826. Sepak terjang Harimau Nan Salapan juga dikenal di Daerah Tapanuli Selatan. Masyarakat Tapsel yang pada masa itu mayoritas masih menganut Pagan (semacam animisme), berhasil diislamkan oleh Pongkinangolngolan Sinambela yang bergelar Tuanku Rao, Hamonangan Harahap bergelar Tuanku Tambusai, Mansur Marpaung bergelar Tuanku Asahan, Jatenggar Siregar bergelar Tuanku Ali Sakti dan sejumlah pemuda lain yang belajar agama Islam serta taktik perang dengan Tuangku Nan Renceh di Kamang, Luhak Agam, Minangkabau. Jika dicermati, apa yang dilakukan Tuangku Nan Renceh selama perjuangannya, sebagaimana sejarah juga mencatat, tentulah tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Trio Haji yang pulang dari Mekah di akhir abad ke 18. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Sumanik dan Haji Miskin. Ketiga orang ini memiliki keahlian masing-masing dalam menanamkan paham wahabi di Ranah Minang. Beberapa catatan menyebutkan,

  • Piobang adalah seorang lulusan Universitas Al-Azhar yang sempat menjadi tentara Mesir kemudian bergabung dengan tentara Turki melawan Napoleon. Terakhir Piobang berpangkat kolonel.
  • Haji Sumanik berpanglat mayor, dia kawan Piobang di Al-Azhar yang juga ikut melawan tentara Napoleon.
  • Sedangkan Haji Miskin merupakan seorang berpengetahuan luas tentang Islam lama mengambara di Jazirah Arab.

Trio Haji inilah yang sejak kepualangan mereka ke kampung halaman, mendampingi Nan Renceh dalam berjuang menegakkan syariat Islam di Ranah Minang. Mereka pula yang membina angkatan perang, serta meletakkan fondasi perjuangan melawan kaum penjajah. Tentara padri bentukan Haji Piobang, bukannya tentara kampungan. Tetapi sudah terstruktur rapi hingga ke desa (nagari-nagari). Kepala Nagari merupakan komandan tentara di pedesaan. Beberapa litelatur mencatat, dalam menegakkan syariat Islam di Minangkabau masa itu, masing-masing Tuangku di daerah kekuasaannya menerapkan sistem lihat batu tapakan (batu yang menjadi injakan terakhir ketika naik ke atas rumah). Apa bila dalam pemeriksaan di pagi hari batu ini tidak basah oleh air wuduk shalat subuh, maka orang yang ada di atas rumah itu dianggap tidak Islam. Eksekusi pun dijalankan di tempat. Hukumannya beragam, mulai dari cambukan sampai hukum pancung. Untuk daerah Luhak Tanah Data, masa itu dikenal ketegasan Taungku Lintau (atau disebut juga Tuangku Alim Tahu). Beliau ini terkenal dengan parajuritnya yang sangat aktif memeriksa batu tapakan setiap pagi di setiap rumah-rumah penduduk. Derap langkah kaki kuda prajurit ini sangat di takuti oleh orang-orang pelanggar syariat agama. Tapi, semua ini adalah cerita masa lalu. Kini hanya tinggal kenangan. Soal basah atau tidaknya batu tapakan di rumah-rumah penduduk menjelang sembahyang subuh, tidak ada lagi yang akan memeriksa dan mengingatkannya, keculai diri mereka masing-masing.