Bung
Karno sebagai proklamator tak bisa kita pungkiri. Tetapi Bung Karno
sebagai diplomat ulung belum banyak tersiar. Bahkan saat beliau masih
dalam kegemilangan kuasa, yang dianggap sebagai diplomat ulung Indonesia
adalah mr. Soebandrio. Bung Karno tak dicantumkan sebagai salah seorang
diplomat ulung dalam jajaran para diplomat kita, walaupun beliau tak
bisa dipungkiri adalah salah seorang pemimpin di panggung dunia di
jamannya.
Tak lama setelah kedua aksi bisik oleh Bung Karno tersebut, ia pun meminta giliran untuk menyampaikan pendapat dan mengusulkan diselenggarkannya Konferensi Asia Afrika di Bandung. Usulan tersebut langsung ditanggapi setuju oleh para hadirin, baik yang berbeda maupun yang sama pendapat.
Rupanya, melihat perbedaan pendapat yang meruncing Bung Karno menggunakan figur Abdul Naser dan Gandi yang berpengaruh masing-masing di Afrika dan Asia. Konon, menurut pengakuan Bung Karno dalam buku yang saya baca tersebut sesungguhnya beliau tak membisikkan sesuatu pesan politik apapun ke telinga kedua pemimpin berpengaruh tersebut. Beliau hanya mengajak makan siang bareng sehabis pertemuan yang melelahkan, bertele-tele dan tak seia-sekata tersebut. Tapi ternyata anggukan kedua pemimpin berpengaruh tersebut dianggap sebagai persetujuan terhadap gagasan Bung Karno yang ia sampaikan beberapa saat setelah berbisik dan diangguki. (maaf sekali lagi para pembaca yang budiman, saya lupa bukunya. Saya ingat buku tersebut adalah buku lama yang saya dapatkan loakan cikapundung, Bandung. kalau ga salah buku tersebut berisi komunikasi antara Guntur Soekarnoputra dengan Bung Karno).
Kunjungan mendadak dan tempo yang singkat antara informasi kunjungan dengan pelaksanaan kunjungan membuat para pemimpin Indonesia kelabakan. Kementrian luar negeri di bawah Soebandrio meminta informasi akurat dari kedutaan dan jejaring informasi luar negeri mengenai maksud kunjungan menlu RRC tersebut. Namun baru dua hari menjelang kunjungan menlu RRC tersebut barulah didapatkan informasi maksud kunjungan tersebut. Ternyata maksud kunjungan tersebut adalah mempertanyakan kebijakan pemerintahan Bung Karno yang membatasi ruang gerak bisnis etnis Tionghoa di Indonesia, hanya boleh di Kota Kabupaten, jadi etnis tionghoa tidak boleh berbisnis di kota kecamatan, apa lagi sampai ke desa.
Berhubung maksud kunjungan tersebut baru diterima dua hari menjelang kedatangan tamu kehormatan. Soebandrio dan jajaran Menlu RI gugup serta panik karena belum sempat mengumpulkan informasi untuk memberi jawaban yang memuaskan sang sahabat yang sangat diperlukan tersebut (sangat dibutuhkan karena RRC dan Rusia sangat dibutuhkan bantuannya dalam persiapan program Ganefo yang sedang dalam progres). Maka Soebandrio pun menghadap Bung Karno dan menyampaikan maksud kunjungan Perdana Menteri RRC dan berkonsultasi bagaimana cara menajawabnya. Lalu, Bung Karno dengan enteng menjawab: “sudah, nanti yang menyambut dan menemuinya oleh saya saja”, begitulah kira-kira jawaban Bung Karno kepada Soebandrio.
Penjelasan Bung Karno tersebut entah memuaskan atau membuat Menlu RRC mati kutu tak bisa menjawab, yang jelas Menlu RRC kemudian pulang ke negrinya dan hubungan RRC-Indonesia tetap baik-baik dan mesra sesudah pertemuan itu hingga berakhirnya masa kekuasaan Bung Karno.
Tulisan ini sekedar refleksi atas peran diplomatik Indonesia yang meredup di panggung internasional dan tak berdaya menghadapi malaysia. Ketika sebagian dari kita menyikapi secara emosional perilaku malaysia terhadap rakyat dan aparat kita, sementara Kementrian Luar Negeri kita dan pemimpin pemerintahannya tak berbuat suatu apa pun untuk membela dan mempertahankan martabata dan kedaulatan negara kita. Kita hanya bisa bersuara meneriakkan kemarahan terhadap negara tetangga kita.
Tulisan ini bermaksud mengingatkan pula bahwa diplomasi tidaklah selalu berkait dengan kekuatan nyata persenjataan. Artinya sikap keras dan tegas RI tidaklah selalu bermakna ancaman perang dalam hubungan dengan negara lain. Selama ini, setiap kali hubungan kita dengan Malaysia menegang selalu dikaitkan dengan kekuatan angkatan perang. Padahal dalam hubungan luar negeri, walaupun ada adagium mengatakan, “jika ingin damai bersiaplah berperang” tidaklah berarti bahwa hubungan diplomatik hanya dan hanya berkorelasi dengan kekuatan, melainkan lebih berkorelasi terhadap kepentingan ekonomi.
Beberapa dekade belakangan ini memang pejabat negara kita tidak inspiratif dan kreatif dalam mengemban amanah negeri. Hal ini tidak hanya terjadi dalam persoalan hubungan luar negeri, melainkan keseluruhan sektor. Menurut saya, kurangnya daya kreatif ini oleh karena para pejabat tidak punya jiwa dedikasa dalam jabatan yang diembannya. Para pejabat lebih berpikir dan menimbang-nimbang apakah langkah yang dibuatnya akan beresiko terhadap jabatan serta dapat mengurangi porsi kekuasaan dan nikmat yang diperolehnya atau tidak. Beginilah kalau budaya korupsi sudah mengakar dan merasuki mental bangsa, nasionalisme tergerus dan harga diri tak dipedulikan.
No comments:
Post a Comment