Footer Widget #4

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Wednesday, May 26, 2010

Saatnya Moral/Akhlak menjadi Panglima di NEGERI INI (3)

 

mesjidkatolik protestan 

 

KUIL HINDUbuddha konghucu

II. Definisi Agama (Religion)

Diatas tadi telah kita jelas kan secara singkat tentang Budaya dan Banyaknya suku-suku dibumi Nusantara sekaligus memiliki adat istiadat bahkan kepercayaan yang diturunkan dari leluhurnya.misalnya :

Sunda Wiwitan (Banten,Kanekes

Agama Jawa Sunda (kuningan jawa barat)

Buhun (Jawa Barat)

Kejawen (Jawa tengah dan Jawa timur)

Parmalim (sumatera utara)

Aliran Mulajadi Na bolon (Sumut)

Parbaringin

Kaharingan (Kalimantan

Tonaas walian (Minahasa, Sulawesi utara)

Tolottang (Sulawesi selatan)

Wetu Telu (Lombok)

MArapu (Sumba)

Naurus ( Pulau seram, Maluku)

Purwoduksino

Budi Luhur

Pahkampetan

Bolim

Basora

Samawi

Sirnagalih - dsb

Agama mempunyai kedudukan yang amat penting dalam kehidupan manusia, tidak hanya sebagai alat untuk membentuk watak dan moral, tapi juga menentukan falsafah hidup dalam suatu masyarakat. Hal ini ber arti nilai-

nilai dan norma-norma budaya dibentuk dari agama. Agama terbentuk bersamaan dengan permulaan sejarah umat manusia. Realita ini merangsang minat o rang untuk mengamati dan mempelajar i agama, baik sebag ai ajaran yang diturunkan melalu i wahyu, maupun sebagai bag ian dari kebudayaan. Lahir nya “Agama baru“ tidak akan per nah lepas dar i tradisi-tradisi agama induk ( mainstream).

Motivasi keterikatan manusia kepada agama adalah pendambaannya akan keadilan dan keteratur an. Keadilan dalam masyarakat dan alam, karena itu ia mnciptakan agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan kejiwaannya.

Selanjutnya kita mencoba mendefinisikan Agama ataupun Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ditinjau dari beberapa aspek:dan pendapat tokoh tokoh terkemuka:

Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.

Kata Agama berasal dari bahasa Sanskerta “tidak kacau”: ( A berarti “tidak”, dan gama berarti “kacau”)

P.J. Zoelmulder dan R.O. Robson dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia, kata “agama” telah diserap dalam bahasa Jawa kuno yang mengandung beberapa arti: “doktrin atau ajaran tradisional yang suci”, “himpunan doktrin”, “karya-karya suci”.

L. Mardiwarsito dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia kata agama berarti: (1) ilmu, ilmu pengetahuan; (2) hukum atau perundang-undangan; dan (3) agama atau religi.

Sedangkan dalam bahasa-bahasa semitik di Timur Tengah, “agama” disebut dalam bahasa Arab “Dîn”, yang sering dimaknai sebagai lembaga ilahi yang memimpin manusia untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Terlepas dari makna syar’i dalam konteks Islam, kata Arab dîn ternyata cognate dengan bahasa-bahasa semitik: danu (Akkadia), den (Ibrani), dîn/dîna (Aramaik/Suryani) yang berarti “religion”, “cult”. Selain itu dalam bahasa Ibrani dan Aramaik, kata den juga berarti “pengadilan”, misalnya seperti ungkapan Ibrani: Yom ha-Den (hari Pengadilan), yang sejajar juga dengan bahasa Arab: Yaum ad-dîn (hari pembalasan/ hari pengadilan). Selain kata din, dalam bahasa Arab juga dikenal kata Millah, yang juga sejajar dengan bahasa Aramaik Milta (firman, kata). Sekali lagi, terlepas dari makna syar’i-nya, kata Arab millah juga berkaitan dengan “ketaatan”, “kepasrahan” manusia kepada Allah, yang dalam agama-agama semitik diteladankan dari sosok kepasrahan Ibrahim kepada Sang Pencipta (Abraham), yang dijuluki “Bapa orang-orang beriman” (Arab: Abu al-Mu’minin, Ibrani: Ab ha Ma’a-minim) dalam Yudaisme, Kristen dan Islam.

Dari ungkapan-ungkapan berbagai bahasa di atas, maka dapat disimpulkan bahwa agama atau religi mengandung baik unsur “pengabdian”, “kepasrahan” − sebagai kata kerja − maupun “sekumpulan ajaran yang dianggap benar” − sebagai kata benda. Yang pertama “agama” sebagai gerak hati dan religiusitas, yang kedua “agama” sebagai “ajaran-ajaran baku”, atau “ajaran-ajaran yang dibakukan” oleh lembaga keagamaan (the organized religion).

Ungkapan lain yang diserap dari bahasa-bahasa Barat adalah “Religi”, “Religion”. Kata religi berasal dari bahasa Latin religio yang akar katanya religare yang berarti “mengikat”. Jadi, arti “religio” disini adalah way of life lengkap dengan peraturan-peraturannya tentang kebaktian dan kewajibannya, sebagai alat untuk mengikat seseorang atau sekelompok orang dalam relasinya dengan Tuhan, sesama manusia dan alam semesta.

Kesimpulan: Dengan definisi tersebut diatas dapat kita simpulka Sejauh mana Agama berperan dalam pembentukan moral Bangsa sekaligus moral pemimpinnya.:

1- “Tidak Kacau (Sansekerta), menjaga timbulnya kekacauan perlu koridor menjadi batasan bagi manusia untuk berbuat dan bertindak sesuai dengan egonya, ajaran Agama sangat berperan menekan ke egoan manusia

2- Ilmu Pengetahuan- Perundang undangan, Koridor yang dimaksud adalah Perundang-undangan dan muatan Ilmu pengetahuan untuk dapat menerima undang-undang/peraturan. Dengan demikian dengan Agama dapat mendisiplin manusia/ umatnya.

3- Way of life , Dengan Agama jelas sebagai penuntunnya, bagaimana bermasyarakat yang baik bagaimana menjadi pemimpin masyarakat yang baik dan Amanah. Yang mampu mengutamakan yang dipimpinnya daripada kepentingan pribadinya.

Ini adalah beberapa bagian yang mutlak untuk membentuk moral Manusia Indonesia khususnya, Dimana belakangan ini Agama sudah menjadi suatu alat mengyakinkan atau melegetimasi kehendak dan perbuatan sehingga Negara kesatuan Republik Indonesia terancam keutuhannya, Agama kembali di plotikisasi. Dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.

Di pihak lain, adalah kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.

Dalam konteks keterkaitan ilmiah, maka hubungan antara agama dan politik harus kita waspadai sehingga ia tidak sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu ukuran atau kunci yang paling mudah dikenali agar kita dapat menarik batas yang mana politik yang harus dihindari sehingga kita tidak terjebak ke dalam arus politik kotor, khususnya oleh kaum Buddhis adalah dengan menghindari penggunaan kekerasan. Artinya politik yang harus dihindari adalah politik yang menyangkut perebutan kekuasaan melalui penggunaan kekerasan, termasuk dengan memperalat orang lain atau suatu organisasi, apalagi bila sudah menggunakan simbol-simbol agama yang bisa sangat menyesatkan.

Jadi, agama secara moral dan politis berada pada posisi yang benar pada saat agama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga pada saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, pada saat itulah agama dalam posisi yang salah dan berbahaya. Jadi ada 2 hal keterkaitan yang menjadi wacana diskusi kita, pertama bagaimana agama dapat membentengi diri mereka dari setiap kecenderungan/kekuatan politik yang berkembang di sekitar mereka, sehingga agama dapat tetap menjadi kekuatan pembebas dan bukan sebaliknya menjadi yang dibebaskan atau pencipta masalah karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik tersebut. Kedua bagaimana agama dapat memainkan peran moral mereka untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang dan menekan kehidupan.

(bersambung )

No comments: