BANGSAKU TERTATIH-TATIH
Setelah kemerdekaan diproklamasikan
sebuah pekerjaan besar telah menunggu untuk digarap oleh para pemimpin
kita. Sebuah trikondisi menjadi ciri tersendiri bagi bangsa Indonesia
yang sedang melakukan revolusi. Kondisi pertama adalah pemerintah
pendudukan Jepang yang kalah perang akan bersikap satria-samurai
terhadap janjinya kepada pihak Sekutu yang memenangkan peperangan, yaitu
mempertahankan status quo di Indonesia untuk kemudian akan
diserahkan kepada pihak Sekutu. Jepang masih menguasai senjata dan
melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan sementara sampai Sekutu tiba di
Indonesia.
Kondisi kedua adalah Pemenang perang yang diwakili oleh
Inggris, yaitu Sekutu dimana Belanda ikut bergabung, akan menerima
penyerahan Indonesia dari tangan Jepang dalam keadaan status quo
yang terjaga, termasuk penerimaan para tawanan Belanda yang disekap
dalam tahanan oleh Jepang dan penerimaan seluruh personel militer dan
sipil Jepang beserta persenjataannya sebagai penyerahan diri kepada
Sekutu. Sangat mungkin sekali Belanda sebagai anggota Sekutu akan ikut
masuk kembali ke Indonesia bersama Inggris.
Adapun kondisi ketiga
adalah seluruh bangsa Indonesia dalam momentum puncak dari semangat
merdeka dan berdaulat, dengan para pemimpin gabungan politisi tua dan
politisi muda yang dari sejak persiapan proklamasi telah berbenturan
dalam fikiran, sikap, dan tindakan. Bagaimana mereka menggarap
pekerjaan besar itu saya tidak mengalaminya sendiri karena masih umur
Balita (bawah lima tahun). Berikut uraian dalam bentuk jurnal
berdasarkan penuturan para pelaku dari kedua kelompok usia dan ragam
pandangan politiknya setelah saya lakukan pendalaman untuk menyesuaikan
waktu dan menjajarkan pola pandang yang mendasari tindakan mereka.
Terpasung predikat kolaborator
Dalam
hari-hari akhir masa kekalahan Jepang dari Sekutu, Belanda rajin
melancarkan propaganda melalui radio bahwa pasukan Sekutu akan mengambil
tindakan tegas terhadap para kolaborator Jepang di Indonesia.
Setasiun radio SEAC (South East Asia Command) di Ceylon juga
sering menyiarkan informasi bahwa tentara Sekutu akan menangkapi para
pemimpin Indonesia yang bekerja-sama dengan Jepang, terutama terhadap
rezim Sukarno yang fasis karena mendukung pemerintahan fasis Jepang.
Panglima SWPAC (South West Pacific Area Command), Jenderal
Mac Arthur dari Amerika, dengan geram menyatakan niatnya untuk menyikat
habis apa yang disebutnya “penjahat perang Indonesia”. Tidak jelas
apakah kegeraman itu disebabkan oleh ucapan Sukarno di masa pendudukan
Jepang bahwa: “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”.
Sebaliknya Panglima SEAC (South East Asia Command),
Jenderal Lord Mountbatten dari Inggris, tidak memberikan pernyataan
sedikitpun tentang Indonesia. Boleh jadi hal itu disebabkan karena
wilayah bekas Hindia Belanda termasuk dalam wilayah SWPAC bukan
SEAC.
Menurut Adam Malik pemimpin Indonesia yang tidak pernah
bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang hanyalah Amir
Syarifuddin. Sebagai Ketua AFL (Anti Facist League), Amir Sjarifuddin bahkan sempat ditangkap dan mendekam di penjara Kem Pe Tai
sebelum akhirnya dibebaskan setelah Sukarno campur tangan. Selain Amir
Syarifuddin menurut saya Tan Malaka juga dapat digolongkan bukan
kolaborator Jepang.
Mengenai Sutan Syahrir, Adam Malik mengatakan
Syahrir pernah memberikan serangkaian kuliah di salah satu asrama dinas
rahasia Jepang, bagian dari Dai San Ka, Kem Pe Tai Kaigun di Jakarta, maka dia pun termasuk yang bekerja-sama dengan Jepang walau dalam kadar yang tidak besar.
Juli 1945.
Perjanjian Postdam diantara Gabungan Kepala Staf Inggris dan Amerika
melahirkan perubahan yang penting bagi Indonesia khususnya bagi Sukarno
dan para pemimpin Indonesia lainnya yang di masa pendudukan Jepang
bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang. Wilayah bekas Hindia
Belanda dialihkan ke SEAC. Dengan perubahan penguasaan perang
tersebut, maka Sukarno dan kawan-kawannya tidak lagi terkena ancaman
untuk disikat-habis oleh Jenderal Mac Arthur. Inggris sendiri belum
menyatakan sikapnya dengan jelas. Perjanjian Postdam ini mengecewakan
baik pemerintah Belanda maupun Jenderal Mac Arthur.
24 Juli 1945. Di Brabant, Nederland selatan, Pemerintah Belanda menyusun NICA (Netherlands East Indies Civil Affairs)
setelah memperhatikan kemenangan Sekutu di medan perang Asia dan
Pasifik. NICA dipersiapkan untuk menerima kembali Hindia Belanda dari
tangan Jepang melalui Sekutu yang berdasarkan perjanjian Postdam adalah
Inggris. Terdaftar sebanyak 50.000 sukarelawan sipil pria dan 12.000
sukarelawan sipil wanita. Telah terbentuk pula Gezaachst Batallion dan Expeditionaire Machten,
pasukan khusus melalui pendidikan militer di Inggris terhadap
pemuda-pemuda Belanda. Semuanya siap diberangkatkan ke Indonesia. Van
Mook dan Van der Plas juga telah diperintahkan bersiap dari Brisbane,
Australia, untuk segera bertugas kembali di Indonesia.
15 Agustus 1945.
Berita kapitulasinya Jepang kepada Sekutu terdengar di kalangan para
pemuda pejuang kota Semarang. Ibnu Parna dan teman-temannya bergerak
menyerbu ke gudang persenjataan Jepang dan tempat-tempat vital lainnya
sehingga terjadi pertempuran sengit yang berlangsung selama enam hari
hingga 19 Agustus 1945.
16 Agustus 1945.
Di Rengasdengklok, tidak jauh dari rumah dimana Sukarno dan Moh. Hatta
ditempatkan oleh Sukarni dan kawan-kawannya, Soncho (Camat)
Rengasdengklok Soejono Hadipranoto, atas perintah Sukarni melakukan
upacara penaikan bendera Merah Putih bersama masyarakat di depan pendopo
kawedanan Rengasdengklok. Dalam upacara itu, Soejono Hadipranoto
menekankan tentang Nippon sudah menyerah kepada Sekutu dan akan dilucuti
senjatanya oleh Sekutu, maka sebagai kepala pemerintahan di daerah itu
menyatakan : “Rakyat dan Bangsa Indonesia Merdeka”.
Di Cirebon juga terjadi hal yang sama.
Dr. Soedarsono dan kawan-kawannya dari kelompok Syahrir
menyelenggarakan upacara bendera dan mengumumkan proklamasi kemerdekaan
dengan membacakan teks yang telah disusun dan disebarkan oleh Sutan
Syahrir sebelumnya. Mereka tidak tahu bahwa Syahrir gagal meyakinkan
Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan hari itu di luar
PPKI. Berbeda dengan suasana di Rengasdengklok, upacara di Cirebon
itu kurang memperoleh sambutan dari masyarakat luas.
17 Agustus 1945.
Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kenyataan ini
semakin mencemaskan Belanda karena semua rencana yang semula
diperkirakan akan berjalan lancar bakal menghadapi tantangan yang keras
dan sulit untuk memperkirakan hasilnya. Proklamasi kemerdekaan yang
dilakukan di rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta itu tidak
dihadiri oleh tokoh politik Sutan Syahrir dan Tan Malaka, juga tidak
oleh tokoh-tokoh pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Wikana dan
Soebadio Sastrosatomo yang menganggap masih adanya peranan Jepang.
Padahal kecuali Sutan Syahrir dan Tan Malaka, para pemuda tersebut ikut
terlibat menyiapkan naskah proklamasi bersama Sukarno, Hatta, Mr.
Subardjo, Sayuti Melik dan sebagian besar anggota PPKI di rumah
Laksamana Mayeda.
Mengenai peristiwa proklamasi ini, Sukarno menuturkan: “ …………………………… Sudiro, sekretaris pribadiku, mengetok pintu kamar-tidur. Aku mendekam di atas kursi dengan kepala pada kedua belah tanganku.
“Lima orang opsir Kenpeitai telah
menyerondong masuk ke kamar tengah”, ia melaporkan: “Mereka minta bicara
dengan Bung Karno. Anak-anak kita tinggal menunggu perintah. Apa
yang akan kita lakukan ?”.
Aku keluar dan berhadapan dengan Kepala Polisi yang kelihatan marah: “Apakah yang tuan lakukan, Sukarno San ?”, ia mendesak.
“Memproklamirkan kemerdekaan kami”, jawabku lunak.
“Tuan tidak boleh melakukannya”, ia
menyerang: “Perintah dari pihak Sekutu kepada kami supaya meneruskan
roda pemerintahan sampai mereka datang. Dan Gunseikan minta
disampaikan tentang larangan keras untuk menyatakan kemerdekaan”.
“Tapi pernyataan itu sudah diucapkan. Saya baru saja mengucapkannya”.
Tanpa disadarinya tangannya naik ke pinggang dan ia melangkah maju seperti hendak mengancam ke arahku. …………… Kemudian orang-orang Jepang itu meninggalkan rumahku tanpa kata-kata. …………………………………….
18 Agustus 1945. PPKI bersidang di gedung Volksraad di
Pejambon. Enam orang anggota baru diumumkan diantaranya adalah:
Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh mewakili Pemuda. Baru saja rapat
dibuka oleh Moh. Hatta, Chaerul Saleh mengajukan usul yang mengejutkan,
yaitu: agar kegiatan diselenggarakan dengan telah memutus semua yang
dapat dianggap masih ada hubungannya dengan Jepang. Rapat PPKI ini
diusulkan diganti menjadi Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI). Moh.
Hatta menjawab bahwa PPKI telah selesai menyusun Undang Undang Dasar
bagi negara Indonesia merdeka yang telah diproklamasikan, maka PPKI
masih perlu bersidang untuk mengesahkannya. Setelah Undang Undang
Dasar disahkan barulah isi dari Undang Undang Dasar itu dilaksanakan,
termasuk adanya Komite Nasional Indonesia. Dengan demikian bisa
dipertanggungjawabkan terhadap PPKI sebagai penyusun meskipun dibentuk
masih di masa Jepang, dan kepada rakyat karena pengesahannya dilakukan
setelah Indonesia merdeka. Ketiga tokoh pemuda itu tidak bisa
menerima jawaban Hatta yang dibenarkan oleh Sukarno juga, lalu mereka
meninggalkan sidang. Rapat PPKI dilanjutkan dan memutuskan: (1).
Mengesahkan Undang Undang Dasar; (2) Mengesahkan secara aklamasi
pengangkatan Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil
Presiden.
Pemerintah pendudukan Jepang memerintahkan semua komandan Jepang untuk membubarkan batalyon-batalyon PETA.
19 Agustus 1945.
Para pemuda bersepakat memilih Asrama Sekolah Kedokteran Tinggi di
Prapatan 10 sebagai markas Pemuda. Mereka terdiri dari pemuda-pemuda
dari berbagai aliran sehingga dalam rapat-rapat sulit mengambil
keputusan bersama yang tegas. Akhirnya kelompok Sukarni dan Wikana
memisahkan diri, lalu diperkuat oleh Chaerul Saleh, Darwis, Kusnandar,
Johar Nur dan lain-lainnya. Tidak lama kemudian kelompok pemuda murba
seperti Syamsuddin (Can) dan Aidit ikut pula bergabung.
PPKI melakukan rapat lagi dan memutuskan
adanya 8 daerah di dalam negara Republik Indonesia sekaligus menetapkan
nama Gubernur untuk setiap daerah. Atas usul Otto Iskandardinata,
rapat juga menetapkan pembubaran 66 batalion PETA (Pembela Tanah Air)
dan Heiho dengan alasan akan mempersulit posisi Indonesia terhadap
Sekutu karena PETA dan Heiho didirikan Jepang untuk melawan Sekutu, dan
kemarin baru saja dibubarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Panglima
Tentara XVI Dai Nippon di Jawa, Letjen Nagano Yuichiro dengan resmi
membubarkan PETA dan menyampaikan ucapan berpisah dan terimakasihnya.
Disusul kemudian perintah pengembalian senjata untuk dimasukkan ke dalam
gudang. Dengan tindakan ini, para mantan anggota PETA secara teoritis
kehilangan persenjataan untuk kelak menghadapi NICA. Namun di
beberapa kota terjadi bentrok memperebutkan persenjataan ini. Aceh,
Banyumas dan Surabaya adalah tiga tempat yang berhasil memperoleh
senjata paling banyak. Residen Banyumas waktu itu adalah Iskaq
Tjokrohadisurjo.
20 Agustus 1945.
Rapat PPKI memutuskan untuk merubah Badan Pembantu Prajurit yang
dipimpin oleh Otto Iskandardinata menjadi BPKKP (Badan Penolong Keluarga
Korban Perang). Dibentuk pula BKR (Badan Keamanan Rakyat).
22 Agustus 1945.
PPKI mengadakan rapat lagi untuk membentuk KNIP (Komite Nasional
Indonesia Pusat) dan mengumpulkan nama-nama calon anggota KNIP.
23 Agustus 1945.
Presiden mengadakan pidato radio yang pertama kali, dimana dianjurkan
agar semua bekas anggota PETA dan Heiho menyatukan diri di dalam BKR dan
di suatu saat nanti akan dipanggil untuk menjadi anggota Tentara
Nasional Indonesia.
25 Agustus 1945.
Sukarno dan Moh. Hatta tercatat dalam daftar hitam Belanda sebagai
kolaborator Jepang. Sekutu tidak lama lagi akan masuk ke Indonesia
sebagai pihak yang memenangkan peperangan. Nasib Sukarno dan Hatta
dipertanyakan. Kalau keduanya terhalang memimpin bangsa karena
ditangkap oleh Sekutu, kepada siapa bangsa dan negara ini akan
dipercayakan ? Pertanyaan ini mengantar pertemuan antara Bung Karno
dengan Tan Malaka di rumah Dr. Muwardi. Tan Malaka mengusulkan
disiapkannya satu strategi cadangan apabila hal yang tidak dikehendaki
itu terjadi, yaitu barisan persatuan rakyat yang berjuang. Tetapi
Sukarno melihat dari sisi “pemimpin”, ia berencana membuat sebuah “surat
wasiat”: bilamana Dwitunggal berhalangan karena sesuatu hal, terbunuh
atau ditahan oleh Sekutu atau NICA, maka akan ditunjuk seseorang untuk
menggantikan dan melanjutkan perjuangan. Ia akan merundingkan hal itu
lebih dulu dengan yang lainnya.
27 Agustus 1945.
Presiden Sukarno mengumumkan Daftar anggota KNIP sebanyak 137 anggota,
diantaranya tercatat juga nama Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin.
Presiden mengumumkan juga susunan
pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang akan dijadikan
satu-satunya Partai Pelopor. Sukarno sebagai Pemimpin utama, dan Moh.
Hatta sebagai Pemimpin kedua.
Tokoh-tokoh pemuda menginginkan adanya
suatu komando dari Presiden tentang gerakan rakyat yang segera dan
serempak untuk mengambil alih kekuasaan beserta aset negara dari tangan
Jepang. Tetapi Sukarno-Hatta menyadari bahwa perjanjian kapitulasi
Jepang terhadap Sekutu merupakan ancaman yang mengkhawatirkan apabila
keinginan pemuda itu dilakukan. Jepang yang masih bersenjata lengkap
dan sudah terikat dengan perjanjian kapitulasi diperkirakan akan
menentang dan melawan habis-habisan gerakan rakyat sedemikian.
Sementara itu sikap Sekutu sudah jelas, Jepang harus menjaga status quo
untuk diserahkan kepada Sekutu yang bermarkas di Singapur dan telah
bersiap untuk masuk ke Indonesia. Sukarno-Hatta berpendapat harus
dilakukan langkah diplomasi dengan Sekutu-Inggris, untuk meyakinkan
Sekutu bahwa bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya dari
penjajahan Jepang.
29 Agustus 1945.
KNIP bersidang untuk pertama kalinya, dihadiri oleh presiden Sukarno
dan Wakil presiden Moh. Hatta. Penghubung dengan Gunseikanbu, Miyoshi,
juga hadir yang menggambarkan bahwa Jepang tetap mengawasi meskipun
Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, sekaligus juga tidak
merintangi kegiatan politik para pemimpin Indonesia. Selama dua hari
berikutnya, rakyat berpawai menyambut telah bersidangnya KNIP tersebut.
31 Agustus 1945.
Presiden Sukarno mengumumkan susunan kabinet pertama yang bersifat
presidensial. Tokoh baru yang masuk dalam kabinet adalah Amir
Syarifuddin sebagai Menteri Penerangan, selebihnya pernah menjadi
birokrat dalam pemerintah pendudukan Jepang.
1 September 1945.
Kelompok pemuda yang memisahkan diri dari kelompok Prapatan 10
mendirikan organisasi dengan sebuah Komite van Aksi sebagai badan
pimpinan. Markasnya berada di Menteng 31 Jakarta. Program
pertama yang disiarkan antara lain : (a) Indonesia Merdeka bebas dari
Pemerintahan bangsa asing; (b) Kekuasaan negara berada di tangan
bangsa Indonesia, tidak lagi di tangan Jepang yang telah kalah perang;
(c) Rakyat digerakkan untuk merebut senjata dan semua kantor
pemerintahan, perusahaan, dan aset negara lainnya dari tangan
Jepang. Selain Komite van Aksi, didirikan pula API (Angkatan
Pemuda Indonesia), BARA (Barisan Rakyat Indonesia), BBI (Barisan Buruh
Indonesia).
Sukarno menuturkan : ………….
Para pengikutku yang setia menganggap sudah seharusnya seorang
“Presiden” mempunyai kendaraan, karena itu mereka “mengusahakannya”.
Sudiro mengetahui ada sebuah Buick besar muat tujuh orang dan ini adalah
“mobil yang paling besar dan paling cantik di Jakarta, pakai kain
jendela di bagian belakangnya”. Sayang mobil kepresidenan ini
kebetulan kepunyaan Kepala Jawatan Kereta Api bangsa Jepang. Akan
tetapi soal kecil begini tidaklah membikin pusing kepala Sudiro. Tanpa
kuketahui dia pergi berburu mobil dan mendapati kendaraan itu sedang
ada dalam garasi. Kebetulan Sudiro mengenal pengemudinya dan
menyampaikan pada orang itu: “Heh, saya minta kunci mobilmu”.
“Kenapa ?”, tanya orang itu kaget.
“Kenapa ?”, ia mengulangi kembali
tergoncang oleh kebodohan orang itu: “Karena saya bermaksud hendak
mencurinya buat presidenmu”.
“Oo, begitu, baiklah”. Patriot itu meringis sambil keluar dari tempat-duduknya di belakang setir dan menyerahkan kunci.
“Cepat”, perintah Sudiro: “Pulang
cepat ke kampungmu di Jawa Tengah sebelum ada orang yang mengetahui
kejadian ini. Dan bersembunyi baik-baik. Kalau sekali sudah
ketahuan, tentu berbahaya untukmu di sini”. ………………………………………….
Entah ada kaitannya dengan tindakan yang
dilakukan oleh Sudiro tersebut atau tidak. Chaerul Saleh pun pernah
melakukan sendiri penyerobotan sebuah mobil milik Jepang yang sedang
diparkir di Gambir Timur no. 9, untuk memberi contoh praktis kepada
pemuda lainnya
2 September 1945.
Pemerintah mengadakan rapat dengan semua Kepala daerah dengan tujuan
mengupayakan agar semua aparat negara meneruskan tugasnya sebagai
aparatnya Pemerintah republik Indonesia.
3 September 1945.
Komite van Aksi menggerakkan para buruh kereta api untuk melakukan
perebutan Jawatan Kereta Api di Jakarta Kota, Bengkel Manggarai, Depot
Jatinegara dan akhirnya seluruh kegiatan kereta api di Jakarta berhasil
dikuasai tanpa perlawanan yang berarti dari pihak Jepang. Mereka
melaporkan hal itu kepada Presiden.
4 September 1945. Buruh Trem di Jakarta menyusul merebut penguasaan dari Jepang, dikuti oleh Buruh Kolf dan Buruh Peredaran Film.
5 September 1945. Setasiun Radio Jakarta direbut dari tangan Jepang.
8 September 1945.
Sebuah tim kecil intel Inggris secara diam-diam diterjunkan dari
pesawat di lapangan terbang Kemayoran. Secara kebetulan mereka bertemu
dengan pemuda dari kelompok Syahrir diantaranya terdapat dr. Subandrio,
seorang dokter muda ahli bedah yang ramah dan mahir berkelakar, lancar
berbahasa Inggris maupun Belanda, Dr. Subandrio memberi penjelasan
secara meyakinkan bahwa gerakan kemerdekaan di Indonesia tidak dilakukan
oleh pemimpin kolaborator Jepang, melainkan oleh para pemuda dengan
penuh kesadaran dan tanggung-jawab untuk menciptakan suasana politik
damai dan menghidupkan demokrasi parlementer barat yang sehat. Tom
Atkinson dan Peter Humphries, dua orang anggota tim intel yang beraliran
Sosialis terpikat dengan penjelasan Dr. Subandrio itu. Kedua orang
itu menyampaikannya kepada pimpinan intel Inggris yang mengirim mereka
sehingga laporan tersebut sampai kepada Lord Mountbatten di Singapore.
Sejak itu pula dr. Subandrio yang tidak pernah merasakan kehidupan
penuh kesulitan dan tidak pernah pula turun ke tengah masyarakat bawah
untuk menghayati kesengsaraan rakyat jelata, tiba-tiba muncul sebagai
tangan kanan Sutan Syahrir.
Penjajagan Sekutu
15 September 1945. Rombongan Laksamana Patterson tiba di Jakarta dimana ikut serta dua orang pejabat NICA (Netherland Indies Civil Administration),
Dr. Ch. O. van der Plas dan Kolonel Abdul Kadir Widjojoatmodjo.
Setelah mengamati keadaan di Jakarta, Dr. Van der Plas mengusulkan
kepada Laksamana Patterson agar Sekutu mengambil tindakan terhadap
Sukarno dan Moh.Hatta, mengambil alih semua departemen dari tangan
Jepang dan menyerahkannya kepada Belanda. Tetapi para perwira Inggris
justru menyarankan agar Inggris sebagai Sekutu yang memenangkan
peperangan berunding dengan Sukarno-Hatta sebagai wakil dari Republik
Indonesia. Saran itu kemudian menjadi sikap dasar Sekutu yang
disampaikan oleh Laksamana Mountbatten kepada Dr. Van der Plas di
Singapura.
19 September 1945.
Tokoh-tokoh pemuda dalam Komite van Aksi menggagas suatu rapat akbar
untuk menggelorakan semangat kemerdekaan rakyat dan mengoptimalkan
momentum. Setelah diyakinkan oleh para pemuda pemerintah mengirim
utusan kepada Gunseikanbu, memberitahu bahwa rapat akbar akan diteruskan
dan segala akibat yang mungkin terjadi akan dipikul oleh pemerintah
Republik. Jenderal Nagano menempat-kan panser-panser di
sekeliling Lapangan Ikada. Massa rakyat berduyun-duyun datang ke
Lapangan Ikada, Jakarta, tidak mempedulikan larangan dan ancaman
prajurit Jepang. Iring-iringan mobil yang membawa Sukarno dan Hatta
tiba di Ikada dikawal oleh pemuda dan dipandu oleh Daan Yahya serta
Soebianto yang mengendarai sepeda motor. Presiden Sukarno naik ke
podium dan berpidato tidak terlalu panjang tetapi memperoleh sambutan
rakyat dengan gegap gempita. Meskipun demikian para pemuda masih
merasa kurang puas karena pidato Presiden Sukarno tidak memberikan
petunjuk program kerja jangka pendek yang harus dilakukan bangsa
Indonesia dalam masa peralihan kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu.
20 September 1945.
Jepang menangkapi tokoh-tokoh pemuda yang ada di gedung Manteng 31 dan
dimasukkan ke dalam penjara Bukitduri. Bentrokan-bentrokan sering
terjadi antara rakyat dengan tentara Jepang di seluruh kota Jakarta.
Karena penjara Bukitduri kurang terjaga dengan baik, maka para pemuda
itu berhasil meloloskan dirinya.
23 September 1945.
Di Surabaya terbentuk PRI (Pemuda Republik Indonesia) Gedung Kempetai
diserbu dan diduduki. Pergolakan pun terjadi di Yogyakarta (25
September), Bandung (28 September), Malang dan Surakarta (30 September)
dan pemuda berhasil membebaskan kota-kota itu dari penguasaan Jepang.
Sekutu mendarat
29 September 1945. Tentara NICA yang berbaju tentara Sekutu ikut mendarat bersama 2000 tentara Inggris mendarat di Tanjungperiuk Jakarta.
Tentang hal ini Sukarno menuturkan: ……………. Pendaratan
pertama terdiri dari pasukan Inggris dan membawa bersama-sama dengan
mereka serombongan wartawan-asing. Konperensi pers kami yang pertama
diadakan di beranda muka Pegangsaan Timur 56. Wartawan-wartawan itu sangat agresif. Ada yang berdiri. Ada
yang duduk. Dan semua mengajukan pertanyaan dengan bertolak-pinggang
dan dengan rokok bergerak-gerak melekat di mulutnya…………………. Kuli-kuli
tinta ini tidak banyak bertanya padaku. Mereka hanya menuduh.
Sebagaimana dugaanku tuduhannya yang utama ialah “Tuan kollaborator
Jepang, bukan ?”. Seorang Inggris dari Singapura ingin mengetahui,
“Mengapa pidato-pidato tuan yang kami dengar di radio, berulangkali
menyatakan hendak mendupak Pasukan Sekutu dari daratan pulau Jawa ?”.
Kami menyajikan air teh. Sekalipun sifat mereka kasar, tapi aku
seorang tuan-rumah yang cukup sopan. Dengan sabar aku menerangkan: “Di
tahun ’42 kami tidak terlatih samasekali dan saya merasa taktik itu
yang paling baik supaya Jepang sebanyak mungkin berbuat untuk kami.
Coba teliti kembali hasilnya pada kedua belah pihak dan orang akan
melihat bahwa Sukarno lebih banyak memperoleh hasil dari Jepang daripada
sebaliknya”. Aku sama sekali tidak kehabisan kata-kata dan
mencoba sedapatku supaya menyenangkan tamu-tamu. Akan tetapi
sebagaimana yang kualami dalam hidupku dengan wartawan Barat, sebagian
besar berita yang dibuatnya tidak menyenangkan. …………………………….
Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies),
Letjen Sir Phillip Christison, mengatakan bahwa Republik Indonesia
merupakan sebuah realitas yang dapat membantu melaksanakan misi tentara
Sekutu. Pengakuan de facto Panglima AFNEI itu meresahkan
Belanda. Situasi keamanan di Jakarta menjadi buruk. Tentara Belanda
melakukan patroli dan mengacau dimana-mana. Mobil Presiden Sukarno
yang sedang lewat diserang sehingga supir mengalami luka tembak.
Presiden Sukarno kebetulan tidak ada di dalam mobil. Seluruh teror
yang dilakukan oleh tentara Belanda itu dilakukan di depan hidung
tentara Inggris yang tidak berbuat
apa-apa.
Sukarno menuturkan:……….. Mereka
benci kepadaku. Mereka mencoba menghancurkan kendaraanku. Mereka
menembaki dan hampir membunuh supirku. Tentara mereka terorganisir
baik. Tentara kami tidak. Kami tidak punya disiplin, tidak punya
staf. Bahkan tidak punya makanan! Aku tidak digaji. Dari siapa ?. Siapa
yang akan memberiku gaji ?. Di satu malam para menteri berkumpul di
Pegangsaan sampai jauh malam mengadakan sidang darurat dan kami tidak
punya kopi ataupun sepotong roti untuk dihidangkan. Tukimin pergi
dengan mobilku berusaha meminjam makanan untuk Presidennya. Malam itu
Belanda mengintai-intai hendak menembakku. Perintah mereka, “Bunuh
Sukarno kalau kelihatan”. Karena mengira bahwa aku berada di dalam
“mobil Sukarno”, serdadu NICA dengan sengaja melanggarkan truk pada
mobil itu. Mereka meloncat ke luar pada saat yang terakhir, dan truk
itu menubruk mobilku. Mobil itu hancur. Tukimin pun tentu hancur
kalau pasukan pemuda tidak segera membawanya ke rumah-sakit. ………………..
1 Oktober 1945.
Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka bertemu di rumah Mr. Subardjo. Mereka
membahas ide “surat wasiat” yang pernah dicetuskan sebelumnya. Sukarno
menyebut nama Tan Malaka, sedangkan Hatta menambahkan nama lain yaitu:
Sutan Syahrir, Iwa Kusumasumantri, dan Wongsonegoro, sebagai pemegang
mandat untuk meneruskan perjuangan dan kepemimpinan nasional bila
Dwitunggal berhalangan. Testamen itu dibacakan dalam sidang kabinet
berikutnya. Ini menunjukkan kesiapan Sukarno dan Hatta dalam
menghadapi berbagai kemungkinan. AMANAT KAMI
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu,
adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan
per-keadilan.
Setelah kami menyatakan kemerdekaan
Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agustus
1945 bersandar pada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat
untuk mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.
Maka negara Indonesia menghadapi
bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh
rakyat yang bersatu-padu serta gagah berani di bawah pimpinan yang
cerdik, pandai, cakap dan tegap.
Sedangkan sejarah dunia membuktikan
pula, bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan itu bergantung pada
kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apapun juga, seperti
sudah dibuktikan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa yang besar di
Amerika Utara dan Selatan, di Eropa Barat, di Rusia, Mesir, Turki dan
Tiongkok.
Syahdan datanglah saatnya buat
menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan obor kemerdekaan, seandainya
kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di
tengah-tengah rakyat sendiri.
Perjuangan rakyat kita seterusnya
menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala
golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia, seperti
yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita.
Bahwasanya setelah selesai kami
pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan
persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta
bertanggung-jawab.
Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan
perjuangan kemerdekaan kita akan diteruskan oleh saudara-saudara: Tan
Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir, Wongsonegoro.
Hidup Republik Indonesia ! Hidup Bangsa Indonesia !
Jakarta, 1 Oktober 1945
Sukarno Moh. Hatta
10 Oktober 1945.
Di Singapur Panglima SEAC , Jenderal Lord Mountbatten, menegaskan
kepada para perwiranya bahwa tokoh Sukarno tidak dapat dikesampingkan
begitu saja.
11 Oktober 1945.
Kolonel Abdul Kadir Widjojoatmodjo selaku penghubung tentara Sekutu
bertemu dengan presiden Sukarno, dan merupakan kontak yang pertama kali
antara Indonesia dengan seorang wakil Belanda. Tetapi pemerintah
Belanda melalui Menteri Urusan Daerah Seberang Lautan Belanda, Logeman,
menginstruksikan kepada Letnan Gubernur Jenderal Dr. Van Mook, untuk
tidak lagi mengadakan hubungan dengan Ir. Sukarno. Sikap Belanda ini
merisaukan Menteri Luar Negeri Inggris, Ernest Bevin, yang mendesak agar
perundingan dengan Indonesia dilanjutkan. Belanda bersikukuh tidak
akan melanjutkan perundingan dengan Ir.Sukarno. Belanda menilai
dari semua pemimpin Indonesia hanya Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin
yang dianggap bersikap moderat terhadap Belanda. Sikap pemerintah
Belanda itu ditambah dengan kekecewaan terhadap Sukarno dan Hatta yang
dianggap tidak tegas terhadap Jepang yang sudah kalah, ditindaklanjuti
oleh sekelompok anggota KNIP untuk mengupayakan tampilnya Sutan Syahrir
dan Amir Sjarifuddin dalam panggung politik Indonesia Merdeka, agar
tidak terjadi kemacetan dalam perundingan lebih lanjut dengan Belanda.
Mereka ini adalah tokoh-tokoh yang pernah menilai Sukarno dan Hatta
cacat politik karena bekerja-sama dengan Jepang atau yang menghendaki
kemerdekaan tidak dilakukan melalui BPUPKI dan PPKI bentukan Jepang.
Pemuda kelompok Syahrir dan Menteng 31 mencoba membujuk, namun Sutan
Syahrir minta bertemu terlebih dahulu dengan Tan Malaka.
Para pemuda berhasil mempertemukan Sutan Syahrir dengan Tan Malaka di Bogor. Dicapai kesepakatan bahwa:
segala apa yang sudah diproklamirkan bersama-sama diperjoangkan dengan
memberikan segenap tenaga untuk mempertahankan Republik yang sudah
didirikan. Disepakati Sutan Syahrir akan memimpin KNI sementara
Tan Malaka diminta membantu dari belakang secara diam-diam. Syahrir
memposisikan Tan Malaka sebagaimana dulu dia mengambil posisi tatkala
Jepang masuk ke Indonesia, yaitu “bermain di belakang layar”. Tidak
jelas mengapa Tan Malaka menerima posisi sedemikian sedangkan saat itu
sudah bukan menghadapi penjajah melainkan mengisi kemerdekaan yang sudah
diproklamasikan.
Pelanggaran konstitusi
16 Oktober 1945.
Sidang KNIP menyetujui perubahan fungsi dari semula Badan Eksekutif
pembantu Presiden menjadi Badan Legislatif, dan dibentuk pula Badan
Pekerja KNIP. Wakil presiden Moh. Hatta menyetujui langkah itu
dengan menerbitkan Maklumat Negara RI No. X yang mengesahkan perubahan
tersebut.
17 Oktober 1945.
Sidang KNIP meminta Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin menjadi pimpinan
KNIP dan melaksanakan Maklumat Negara RI No. X serta menyusun Badan
Pekerja. Kedua tokoh yang anti Jepang itu bersedia melaksanakan
amanat tersebut karena menyadari bahwa Sekutu telah menguasai keadaan
dibawah Letjen Christison.
18 Oktober 1945.
Badan Pekerja KNIP langsung bekerja antara lain mendesak Pemerintah
untuk mengumumkan program politiknya. Karena pemerintah masih sibuk
mengurusi pasang naik semangat pemuda dan rakyat yang mengambil alih
bahkan terpaksa berhadapan dengan tentara Jepang, juga menghadapi Sekutu
yang baru saja masuk dengan membawa serta NICA di satu pihak dan Jepang
yang berusaha melaksanakan semua perjuanjian kapitulasinya antara lain
mempertahankan status quo di Indonesia, maka Badan Pekerja
menyusunnya sendiri berupa Maklumat Politik Pemerintah Republik
Indonesia dan UU No. 1 tentang pemerintah daerah.
25 Oktober 1945. Brigade 49 divisi India 23 AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
di bawah pimpinan Brigjen Mallaby merapat di dermaga Tanjung Perak
Surabaya. Gubernur Jawa Timur minta agar AFNEI menghubungi dulu
Pemerintah RI di Jakarta sebelum mendaratkan tentaranya, dan juga
menolak pasukan NICA ikut serta mendarat. Permintaan pemerintah lokal
Surabaya ini tidak diindahkan Inggris. Tentara Inggris menduduki
gedung-gedung pemerintah dan memerintahkan semua orang Indonesia agar
menyerahkan senjatanya dengan ancaman hukuman mati.
28 Oktober 1945.
Di Sulawesi Selatan terjadi perlawanan rakyat terhadap Sekutu dan
Belanda dipimpin antara lain oleh Walter Mongisidi. Juga di
tempat-tempat lain di seluruh Indonesia. .
Rakyat Surabaya melawan dengan sengit
tentara Sekutu Inggris yang ternyata diboncengi oleh NICA. Pertempuran
merebak di seluruh penjuru kota. Brigade 49 nyaris terdesak.
29 Oktober 1945.
Jenderal Hawthorn yang telah terjepit posisinya minta bantuan Sukarno
dan Moh. Hatta yang segera pergi ke Surabaya untuk memerintahkan
penghentian tembak-menembak yang segera dipatuhi oleh rakyat dan para
pejuang Surabaya. Kewibawaan Sukarno-Hatta terhadap rakyatnya itu
menimbulkan kesan tersendiri di kalangan pimpinan Sekutu Inggris.
Sukarno menuturkan: ……………… Inggris telah menduduki beberapa gedung dan menempatkan markas besarnya di pusat kota Surabaya. Kota
itu menjadi kota neraka. Di setiap penjuru jalan terjadi perkelahian
hebat satu-lawan-satu. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Tubuh-tubuh
yang telah dipenggal dan dicincang bertumpuk-tumpuk, yang satu di atas
yang lain. Kematian sedang bersimaharajalela di jalan-jalan. Rakyat
Indonesia menembak-nembak, menikam dan membunuh dengan galak. Setiap
orang bertempur. Setiap orang berkelahi dengan apa saja yang ada
padanya. Para pemuda dengan pentung. Orang tua-tua dengan do’a.
……………………… Selama dua jam Wakil presiden Hatta denganku berbicara
menghadapi orang Inggris. Mereka memperlakukan kami dengan layak.
Caranya tidak berlebih-lebihan. Tidak terlihat sikap yang yang
biasanya diperlihatkan terhadap Kepala Negara. Akan tetapi mereka
memintaku datang oleh karena memerlukan bantuanku …… jadi
setidak-tidakanya mereka memperlihatkan penghormatan. Kami bermufakat
untuk mengadakan Gencatan Senjata……… Aku berkeliling ke seluruh penjuru
di mana saja pahlawan-pahlawan muda kami berada dan berbicara
berhadap-hadapan muka dengan mereka…… Aku terus berkeliling satu hari
dan satu malam meneriakkan: “Hentikan pertempuran. Kita mengadakan
gencatan senjata dan tetaplah di tempatmu masing-masing. Jangan
menembak. Itu perintah saya. Hentikan pertempuran segera”. ……… di
saat mereka melihatku dan mendengar suaraku, mereka tunduk……… Aku
menghentikan pertempuran ini pada tanggal 3 Nopember. …………………………………….
Beberapa hari kemudian komandan dari pasukan Inggris di Surabaya,
Brigadir Jenderal Mallaby mati terbunuh. Jenderal ini tidak begitu
disenangi oleh anak-buahnya sendiri. Oleh karena itu tidak pernah
terbukti, pihak mana yang melakukan pembunuhan itu. ……….. Inggris
menggunakan peristiwa ini sebagai dalih untuk menuntut “Penyerahan
Segera Tidak Bersyarat” ……………………………………..
30 Oktober 1945.
Pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Inggris, Sir William Denning,
yang membantu Panglima Tentara Sekutu, Letjen Sir Phillip Christison,
mempertemukan Sukarno, Moh.Hatta dan Amir Sjarifuddin dari Indonesia
dengan Van Mook, Van der Plas, dan Idenburg dari Belanda walaupun
sebelumnya Van Mook selalu mengatakan tidak dapat mengakui tokoh
Sukarno. Pertemuan dengan Sukarno itu membuat gusar pemerintah
Belanda di Den Haag yang kembali menegaskan sikap pemerintah Belanda
untuk tidak mau berhubungan dengan Sukarno pribadi dan karena itu tidak
akan melakukan perundingan dengan Indonesia. Menteri Luar Negeri
Inggris, Ernest Bevin, menyesalkan keterangan pemerintah Belanda
tersebut dan mengharapkan perundingan Indonesia dengan Belanda bisa
dilanjutkan.
1 November 1945.
Wakil Presiden Moh. Hatta menandatangani Maklumat Politik Pemerintah
RI. Sistim satu partai dihapus dan diganti dengan multi partai dalam
rangka menghadapi pemilihan umum yang harus diselenggarakan pada tanggal
1 Januari 1946 sesuai ketentuan dalam Aturan Peralihan UUD 1945.
Kelompok Syahrir membakar-bakar antipati terhadap Pemerintah dengan
menilai bergerak lamban dan terbebani oleh perasaan berdosa terhadap
Sekutu. Provokasi mereka segaris dengan propaganda Belanda bahwa “Republik Indonesia adalah bikinan Jepang, dan pemimpin-pemimpinnya kolaborator Jepang”.
Sutan Syahrir tidak setuju dengan esensi
Surat Wasiat / Testamen pimpinan negara dan bangsa, walaupun namanya
tersebutkan. Apabila permasalahannya terletak pada Dwitunggal
manakala berhalangan maka Dwitunggal sebaiknya hanya sebagai simbol
saja, sehingga manakala benar Dwitunggal berhalangan, jangan sampai
mengganggu sistim ketata-negaraan. Maka Syahrir menggunakan Badan
Pekerja KNIP untuk menyarankan agar dibentuk kabinet parlementer
pengganti kabinet presidensial yang ada di bawah kepemimpinan Presiden
Sukarno. Sukarni sangat mendukung gagasaan mengganti pemerintahan
Sukarno karena ia kecewa dengan sikap Sukarno yang memerintahkan
penghentian tembak-menembak di Ambarawa dan Surabaya. Sutan Syahrir
ditunjuk sebagai formatur penyusun kabinet. Hari itu juga keputusan
Badan Pekerja KNIP tersebut disampaikan kepada Wakil Presiden Moh.
Hatta. Setelah Syarhrir dan Moh. Hatta berunding sekitar 20 menit
lamanya, Wakil Presiden menyatakan persetujuannya. Kemudian Syahrir
mengirim Soedjatmoko dan Soebadio Sastrosatomo untuk menjemput Presiden
Sukarno yang pada saat itu sedang berada di luar kota.
9 November 1945.
Presiden Sukarno menunjuk Sutan Syahrir yang masih berumur 36 tahun
sebagai Perdana Menteri sekaligus formatur kabinet parlementer yang
pertama kali.
10 November 1945.
Situasi di Surabaya memburuk. Inggris memperkuat pasukannya.
Jenderal Mansergh mengultimatum pemuda Indonesia untuk menyerahkan
senjatanya. Ultimatum itu ditolak mentah-mentah. Pukul 06.00 pagi
tentara Inggris mulai menyerang dan Bung Tomo menyeru pemuda dan rakyat
Surabaya untuk bangkit melawan. Pertempuran yang sengit meletus dan
merebak. Tercatat sebanyak 16.000 orang Indonesia tewas di Surabaya
dalam pertempuran heroik tersebut.
Sukarno menuturkan: …………. Pertempuran
mati-matian. Patah tumbuh hilang berganti. Seorang gugur, dua
bangkit. Dua gugur, empat orang maju sebagai gantinya. ………………..
Inilah saat yang maha hebat. Aku gugup. Salah satu saat yang jarang
terjadi di mana aku menjadi sangat gugup, sekalipun aku tak pernah
memperlihatkannya. Satu-satunya tanda dapat dilihat dari jariku yang
memukul-mukul. “Akh, apa akalku … apa yang harus kuperbuat”,
pikirku. Aku tampil dengan seruan kepada dunia. Aku berpidato
dalam bahasa Inggris., pakai tape-recorder dan kemudian disiarkan, yang
ditujukan ke London. Aku memprotes PBB. Aku mengirim telegram kepada
Presiden Truman minta jasa-jasa baiknya, oleh karena tentara yang
membunuh kami memakai perlengkapan dan truk-truk dengan tanda Amerika
Serikat, hal mana membangkitkan “kecurigaan yang wajar dari rakyat
Indonesia yang tidak memusuhi Amerika”. Tak seorangpun menolong. ………
arwek-arek Surabaya melawan dengan gagah berani hingga November tanggal
30. ……………………….
14 November 1945.
Kabinet Syahrir terbentuk. Sutan Syahrir menyingkirkan tokoh-tokoh
yang sebelumnya aktif dalam BPUPKI dan PPKI bentukan Jepang, diganti
dengan tokoh-tokoh yang menjadi pendukungnya, antara lain Amir
Sjarifuddin. Sebagai Perdana Menteri yang memimpin eksekutif maka
Sutan Syahrir siap untuk menjadi Ketua delegasi RI di dalam perundingan
dengan Belanda. Di lain pihak, Belanda pun bersedia meneruskan
perundingan karena Indonesia tidak diwakili oleh Sukarno. Konstelasi
politik di Indonesia menunjukkan pimpinan oleh trio Bung Karno, Bung
Hatta dan Bung Syahrir, setelah selama tiga bulan dipimpin oleh
Dwitunggal Bung Karno-Bung Hatta.
“Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Ini adalah kalimat terakhir dari bunyi proklamasi kemerdekaan yang
dalam pelaksanaannya menimbulkan silang sengketa. Sukarno lebih
menekankan pada kata “saksama”, sehingga ia banyak mempertimbangkan
trikondisi dalam setiap tindakan yang akan diambilnya. Semua kondisi
dia perhitungkan. Jepang akan berreaksi bagaimana, Sekutu Inggris akan
memahami apa tidak, Sekutu Belanda akan bertindak apa, dan apakah
rakyat Indonesia akan menghadapi bencana dan penderitaan besar dari
suatu langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Para pemimpin pemuda seperti Sukarni,
Chaerul Saleh, Wikana dan Adam Malik, lebih menekankan pada bagian
kalimat “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Mereka melihat
momentum puncak itu harus digarap secara optimal agar kemerdekaan yang
telah diproklamirkan tidak terhempas kandas di awal perjalanan. Mereka
kecewa mengapa PETA dan Heiho dibubarkan, padahal mereka masih memegang
senjata dan sudah terlatih dalam teknik pertempuran manakala
diperlukan. Mengapa kantor-kantor pemerintahan dan perusahaan tidak
segera dikomandokan untuk dikuasai oleh rakyat dari tangan Jepang,
sedangkan Jepang sudah kalah perang dan Sekutu belum lagi datang.
Mereka tidak percaya Jepang yang sudah kalah perang itu akan melawan
rakyat dan pemuda dengan senjata secara membabi-buta sehingga akan
menimbulkan banyak korban pada rakyat. Mereka pun ingin
“membersihkan” noda “bikinan Jepang” terhadap kemerdekaan nasional
yang sudah diproklamasikan. Mereka anti Jepang sekaligus juga anti
Belanda yang akan kembali datang ke Indonesia.
Sutan Syahrir pada hakekatnya sepaham
dengan Sukarni dan kawan-kawannya dalam masalah noda “bikinan Jepang”,
namun dia bersikap diam menunggu saat dimana sudah dapat dipastikan
kedatangan Sekutu dan pasukannya di Indonesia. Ia membenci fasisme
dan telah menyerap pengetahuan di negeri Belanda tentang Demokrasi,
Liberalisme serta Sosialisme. Bagi Syahrir berhubungan dengan Sekutu
melalui meja perundingan lebih memudahkan Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaan dan kedaulatannya. Belanda akan mudah dikendalikan
melalui Sekutu, yaitu Inggris dan Amerika.
Berada di tengah tarik-menarik ketiga
kekutan besar itu, Sukarno, Sukarni dan Sutan Syahrir, adalah Mohammad
Hatta. Tokoh intelektual yang jujur ini telah bekerjasama dengan
Sukarno selama pemerintah pendudukan Jepang. Hatta menyesalkan Sutan
Syahrir yang mencemooh Sukarno dan dengan demikian juga Hatta sendiri
dalam menyikapi pemerintah pendudukan Jepang, karena sikap mereka justru
telah menjadi kesepakatan di antara mereka bertiga. Hatta dan juga
Sukarno memahami apa yang dilakukan Syahrir “di bawah tanah”, maka
seharusnya Syahrir pun memahami apa yang Sukarno dan Hatta lakukan “di
atas tanah”. Di sisi lain, Mohammad Hatta yang juga menempuh
pendidikan ekonomi di negeri Belanda tidak sepakat dengan pola pikir
sentralisme yang tidak demokratis, kepemimpinan yang mengandalkan
kewibawaan pribadi dan pemikiran yang mengesampingkan analitis. Hatta
menyadari pribadi Sukarno cenderung ke arah kepemimpinan yang
sedemikian, karena itulah maka ia terpaksa “mendahului” Sukarno ketika
menyetujui perubahan fungsi KNIP menjadi badan legislatif dan juga
menyetujui sistim pemerintahan parlementer, walaupun dia terlibat aktif
di dalam BPUPKI dan PPKI yang menyusun UUD 1945 dimana sistim
pemerintahan presidensial justru yang ditetapkan.
Tokoh pemimpin lain yang selalu berada di
bawah permukaan adalah Tan Malaka. Ia tidak terlibat di dalam
persiapan Indonesia Merdeka melalui BPUPKI dan PPKI. Ia pun tidak
seperti Syahrir dilibatkan dalam persepakatan politik dengan Sukarno dan
Mohammad Hatta dalam menyikapi pemerintah pendudukan Jepang. Tan
Malaka menghabiskan banyak waktunya di luar-negeri dan menjadi penggerak
massa yang justru membeci baik fasisme Jepang, Nazi Jerman dan
Mussolini Italia, maupun kolonialisme – imperialisme yang dianut oleh
Inggris dan Belanda dalam Sekutu. Ia menyelinap pulang kembali ke
Indonesia secara diam-diam, menyembunyikan diri dari pemerintah
pendudukan Jepang. Tatkala pasukan Sekutu mendarat di Indonesia pun
Tan Malaka tetap menyembunyikan diri. Para pemimpin Indonesia lain
hanya mendengar nama Tan Malaka dari pemberitaan dan buku-buku politik
karangannya. Tidaklah mengherankan kalau keberadaan Tan Malaka
kembali di Indonesia menimbulkan keinginan untuk bertemu dari para
pemimpin Indonesia lainnya. Sukarno, Hatta, Syahrir, Sukarni, secara
diam-diam mencari penghubung untuk bisa bertemu dengan Tan Malaka.
Sukarno langsung menunjuk Tan Malaka di dalam testamen politik yang
dibikinnya. Setelah memegang testamen-politik dari Sukarno, Tan
Malaka tetap menjadi tokoh yang tidak tampil ke depan. Syahrir pun
memperhitungkan posisi Tan Malaka ketika para tokoh pemuda anggota KNIP
membujuknya untuk mau tampil memimpin KNIP. Mereka dipertemukan oleh
para pemuda, keduanya membuat suatu kesepakatan bersama, dan Syahrir
memposisikan Tan Malaka kembali di “bawah permukaan” untuk mendukungnya
di dalam KNIP. Tokoh ini diakui kebesarannya tetapi seperti tidak
dikehendaki pemunculannya di dalam arena praktis. Tan Malaka menjadi
tokoh legendaris yang samar di dalam blantika politik bangsa Indonesia.
—000—