Footer Widget #4

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Thursday, February 4, 2010

Tentang Perdana menteri ke 2 Republik Indonesia- (I)

Amir syarifuddin

Sekilas tentang Amir Syarifudin Harahap

Revolusi telah memakan anaknya sendiri. Amir Syarifuddin Harahap (1907-1948), mantan Perdana Menteri ke-2 Indonesia ini menjadi korban revolusi yang dia lahirkan sendiri. Meninggal tragis pada 19 Desember 1948, saat dieksekusi oleh regu tembak bersama sembilan orang tokoh tanpa nama.

Tak banyak literatur dan informasi tentang putra Mandailing ini. Itu sebabnya sosoknya tidak banyak yang tahu, jarang diangkat media. Informasi tentang pesohor ini selalu dibragus. Satu fakta, tahun 1984 Penerbit Sinar Harapan menerbitkan tesis Frederiek Djara Wellem yang dilauncing di STT Jakarta di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat yang berjudul “Amir Syarifuddin; Pergumulan Iman dan Perjuangan Kemerdekaan”. Tidak berapa lama, buku itu di-sweeping masa pemerintahan Soeharto karena dianggap merusak sejarah Indonesia.

Buku biografi tentang Amir Syarifuddin Harahap sesat. Padahal, dialah salah seorang bapak pendiri bangsa dalam memperjuangkan eksistensi NKRI. Padahal, penghargaanya tidak pernah dihargai Negara yang diperjuangkannya. Di pusara, gundukan makamnya, terlulis nisan tanpa nama, di Desa Ngaliyan, Karanganyar, Jawa Tengah. Tidak seperti sejawatnya, Soekarno, Hatta dan Syharier menerima penghargaan berupa bintang Jasa. Dihargai sebagai pahlawan, dan dikubur di makam yang terhormat.

Pada 27 Mei 2008 lalu, untuk mengenang jasa-jasanya , STT Jakarta mempelopori seminar bertajuk: “Amir Syarifuddin Nasionalis Pejuang Kemerdekaan dan Pembebasan Rakyat”. Tampil sebagai pembicara: Setiadi Reksoprodjo mantan menteri pada kabinet Amir Syarifuddin. Ketua STT Jakarta Dr. Jan .S Aritonang. Aswi Warman Adam dosen sejarah dan peneliti. Dimoderatori Fadjroel Rahman.

Pengkotbah

Amir belia lahir di Tapanuli Selatan 27 April 1907. Ayahnya keturunan kepala adat dari Pasar Matanggor, Padang Lawas, bernama Djamin Baginda Soripada Harahap (1885-1949), mantan jaksa di Medan. Sementara ibunya, Basunu Siregar (1890-1931), lahir dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat Melayu di Deli. Zaman itu, saat Belanda membuka perkebunan besar-besaran di Deli, banyak orang Batak eksodus ke daerah ini. Maka, kalau itu ada istilah “Kampak bukan sembarang kampak. Kampak pembela kayu. Batak bukan sembarang Batak. Batak masuk Melayu”.

Masa remaja, Amir menimba pendidikan Belanda di ELS semacam Sekolah Dasar di Medan tahun (1914-1921). Sementara, tahun 1926 atas undangan sepupunya, T.S.G. Mulia pendiri penerbit Kristen BPK Gunung Mulia yang baru saja diangkat sebagai anggota Volksraad (dewan) belajar di kota Leiden, Belanda mengajak Amir untuk juga sekolah disana.

Di Belanda, Amir aktif berorganisasi pada Perhimpunan Siswa Gymnasium, Haarlem. Selama masa itu pula dia aktif mengelar diskusi-diskusi Kelompok Kristen, kemudian hari menjadi embrio Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Di sana, dua sepupu itu menumpang di rumah seorang guru pemeluk Kristen Calvinis bernama Dirk Smink. Kristen Calvinisme adalah aliran gereja dari spirit bapak Gereja, John Calvin (1509-1564).

Amir Syarifuddin yang dulunya berasal dari keluarga Muslim, berpindah agama menjadi Kristen. Dia tidak saja hanya berpindah iman tetapi mendalami agama Kristen sungguh-sungguh. Tiap hari Minggu turut berkotbah. Kotbahnya selalu menyetuh, dan meneguhkan banyak orang. Penggaliannya terhadap Injil sangat mendalam. Itu sebabnya, detik-detik terkhir hidupnya, dia menggengam Alkitab.

Pejuang Pembebasan

Sebuah dokumen Netherlands Expeditionary Forces Intelligence Service (NEFIS), menyebutkan, instansi rahasia yang dipimpin Van Mook, 9 Juni 1947 menulis tentang Amir; "ia mempunyai pengaruh besar di kalangan massa dan orang yang tak mengenal kata takut".

Pada September 1927, sekembalinya dari Belanda, Amir masuk Sekolah Hukum di Batavia dan tinggal di asrama pelajar Indonesisch Clubgebouw, Kramat 106. Dalam memperjuangkan kemerdekan Indonesia, dia terlibat berbagai pergerakan bahwa tanah. Tahun 1931, Amir terlibat mendirikan partai Indonesia (Partindo).

Amir juga mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) sembari menulis dan menjadi redaktur “Poedjangga Baroe”. Berjuang untuk pembebasan dari belenggu penjajah, benih-benih perjuang itu pun makin mekar saat bertemu para tokoh pejuang seperti Mr. Muhammad Yamin, dan Amir aktif pada diskusi Politik Indonesia bersama Muhammad Husni Thamrin.

Pada bulan Januari 1943 dia tertangkap oleh fasis Jepang, karena dianggap pemberontak. Di tengah gelombang-gelombang penangkapan yang berpusat di Surabaya. Kejadian ini membongkar jaringan, organisasi anti fasisme Jepang yang dimotori Amir. Kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat, teman-teman satu pergerakan.

Ketika menjabat Menteri Pertahanan, Amir tidak sependapat terhadap kebijakan Hatta karena pengurangan jumlah tentara, dari 400 ribu menjadi 60 ribu tentara. Menurutnya, layaknya tentara, satu banding tiga, satu tentara untuk menjaga tiga orang penduduk.

Di Kabinet Sjahrier pada tanggal 12 Maret 1946, Amir Sjarifuddin diangkat menjadi Menteri Pertahanan dari Partai Sosialis, dikemudian hari berafiliasi dengan Komunis. Tan Malaka dan Kelompok Persatuan Perjuangan menculik Perdana Menteri Sjahrier. Dari sana dia menjadi perdana menteri.

Dalam Persetujuan Renville, Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin mengundurkan diri dengan sukarela dan tanpa perlawanan samasekali, ketika disalahkan atas persetujuan Renville oleh golongan Masyumi dan Nasionalis.

Kageriaan itu. Peristiwa pemberontakan Madium tahun 1948 yang memilukan itu, disebut dilakukan PKI atas restu dari Amir Syarifuddin. Walau tidak pernah terbukti.

Sepeninggalnya; keluarganya dihina. Anak-anaknya mendapat diskriminasi. Untuk makan saja waktu itu keluarga ini harus terlunta-luntah. Salah satu anaknya, Helena, saat ini bekerja di Sekolah Johnny Andrean, mengatakan, masa sepeninggalan sang ayah, hidup mereka terlantar. Kini, atas bantuan lembaga swadaya masyarakat, Omnes Unum Sint Institut, dan Komisi Hak Asazi Manusia membantu perizinan pembangunan makam tanpa nama itu diperbaiki.

Inilah sejarah. Indikasi keterlibatanya pada pemberontakan PKI di Madiun masih samar. Dieksekusi tanpa pernah diadili. Divonis tanpa terbukti salahnya dimana. Ahli sejarahwan, Aswi Warman Adam menulis, sepanjang hidupnya, Amir hidup dari kamp ke kamp. Perjuanganya tidak pernah dihitung. Narsis.

Mari kita simak kelanjutannya setelah kilasan tentang beliau.

Amir Sjarifuddin Antara Negara dan Revolusi

oleh: Jacques Leclerc

Pengantar

Tulisan ini adalah bagian dari rencana kami mengingatkan generasi muda akan sejarah tokoh-tokoh pendiri Republik Indonesia. yang data-datanya kami ambil dari berbagai informasi yang dapat dipertanggung jawabkan., baik buku dan situs-situs sejarah.

Saat buku ini terbit, baik tokoh yang dibicarakan maupun pengarangnya, telah meninggal. Amir Sjarifuddin meninggal tahun 1948, menyusul Peristiwa Madiun yang melibat dirinya. Ia meninggal dalam arus revolusi yang bergerak begitu cepat, melebihi kemampuan tiap-tiap orang untuk menangkap apalagi mengarahkannya. Seperti ditulis Abu Hanifah ketika menutup tulisannya tentang tokoh ini dalam majalah Prisma, "Revolusi memakan anaknya sendiri".

Jejak langkah Amir Sjarifuddin sudah berulangkali berusaha ditulis orang, tapi selalu saja terasa kekurangannya di sana-sini. Menulis tentang tokoh kontroversial seperti Amir memang bukan barang mudah. Mengambil satu aspek saja dari dirinya berarti melupakan aspek lain. Melihatnya sebagai seorang Kristen yang taat saja, dan menelusuri seluruh perjalanannya dari perspektif ini, akan membuat kita kedodoran memahami sikap politiknya yang radikal sebagai "anak revolusi". Di pihak lain, melihatnya hanya sebagai politisi radikal, pemimpin Partai Sosialis (dengan segala kekeliruan dan kekacauan tentang paham dan partai ini di zaman sekarang), juga tidak akan membuahkan apa-apa. Apalagi mengingat perjalanan politiknya tidak hanya dituntun oleh pikiran, tapi lebih oleh pergolakan dalam masyarakat sezaman.

Mungkin paling baik jika kita menempatkannya kembali dalam zamannya; membiarkan dirinya tampil melalui pikiran dan tindakannya dalam sejarah.

Jacques Leclerc, meninggal bulan April 1995, setelah mengidap kanker ganas dalam tubuhnya selama bertahun-tahun. Ia juga sosok kontroversial dalam bidangnya, seorang penulis yang tidak kenal lelah dalam memahami proses revolusi yang rumit dan berliku.

Jacques mengerahkan banyak tenaganya untuk meneliti dan menulis tentang kurun yang sulit dan penuh perdebatan, yakni revolusi Indonesia. Ia menjadi kontroversial karena cara pikir dan tradisi yang dibawanya tidak lazim dalam studi tentang Indonesia. la gemar membandingkan kehidupan politik di tahun 1940-an dengan kisah-kisah revolusi Prancis yang sangat akrab baginya, dan menyumbangkan tradisi penulisan sejarah Prancis yang kaya dalam wilayah studi ini.

Sejak tahun 1970-an is mulai menulis tentang gerakan rakyat tahun 1940-an, dan di situlah ia menyelami kehidupan Amir Sjarifuddin. Sepagi 1982 ia sudah menulis biografi Amir Sjarifuddin, dan sejak itu terus membuat penelitian tentang pemikiran dan perjalanan hidup tokoh ini. Tulisan di hadapan ini lebih sebuah renungan tentang Amir ketimbang tulisan ilmiah yang menyajikan fakta dan interpretasi dalam langgam yang ketat. Mungkin sekali bukan yang terbaik, tapi di sinilah ia mengerahkan pengetahuan dan kepiawaiannya dalam menulis, untuk mengambil kesimpulan yang cerdas tentang seorang manusia, lingkungan dan zamannya.

I

image

TANGGAL 19 Desember 1948, sekitar tengah malam, di dekat desa Ngalihan, Amir Sjarifuddin ditembak dengan pistol pada kepalanya oleh seorang letnan Polisi Militer, sebuah satuan khusus dalam Angkatan Bersenjata Indonesia. Sebelum itu beberapa orang penduduk desa setempat diperintahkan menggali sebuah lubang kubur besar.

Dari rombongan sebelas orang yang diangkut dengan truk dari penjara di Solo, Amir orang pertama yang dieksekusi malam itu. Beberapa hari sebelumnya ia, dan beberapa orang lainnya lagi, secara diam-diam telah dipindahkan ke rumah penjara ini dari tempat penahanan mereka di Benteng Yogyakarta.

Pada malam itu juga Polisi Militer berkeliling ke rumah-rumah penjara besar, yang masih bisa mereka datangi, khususnya di Magelang dan Purworejo, untuk meneruskan rencana eksekusi-eksekusi mereka. Perintah pembantaian itu turun langsung dari mantan kepala satuan khusus tersebut, Kolonel Gatot Subroto, yang pada 17 September 1948 telah diangkat sebagai Gubernur Militer Surakarta. Barangkali Gatot takut, bahwa para tahanan akan memanfaatkan keadaan untuk melarikan diri, seperti yang memang telah terjadi di rumah penjara di Yogyakarta. Seperti diketahui, pasukan payung Belanda telah diterjunkan di Yogyakarta pada pagi hari sebelumnya, dan segera menduduki daerah ini.

Kalangan dekat dengan para korban eksekusi mengatakan, bahwa tanpa jaminan atasannya Gatot tidak akan mungkin berani mengambil prakarsa sendiri, membunuh tokoh seperti Amir, seorang mantan perdana menteri dan juga menteri pertahanan selama lebih dua tahun. Oleh karena itu tuduhan lalu mereka lempar kepada perdana menteri pengganti Amir saat itu, yaitu Mohammad Hatta. Desas-desus juga beredar, yaitu tentang sidang kabinet terakhir sebelum Yogyakarta diserang Belanda, yang disusul dengan peristiwa penangkapan Sukarno, Hatta dan beberapa tokoh Negara lainnya. Konon pada sidang kabinet tersebut juga dibicarakan nasib Amir dan tawanan-tawanan sesama lainnya, yang pada saat itu masih ada di Yogyakarta; dan bahwa Sukarno menentang keras dijatuhkannya hukuman mati secara sumir. Karena itulah, di luar pengetahuan Sukarno, mereka itu diserahkan kepada Gatot. Barangkali ini merupakan sebuah rekonstruksi, sengaja untuk membebankan seluruh tanggungjawab atas apa yang terjadi pada pundak Hatta sendiri. Notulen sidang kabinet itu, seandainya pernah ada, sampai sekarang tidak pernah ditemukan. Tetapi bagaimanapun juga, jika pembicaraan tentang nasib mereka itu memang pernah terjadi di dalam sidang tersebut, kiranya tidak akan termasuk sebagai bahan yang boleh disiarkan.

Ketika Gatot meninggal mendadak tahun 1962, sekali lagi terdengar kabar burung tentang apa penyebabnya. Sejak malam di bulan Desember 1948 itu, ia terus-menerus hidup dalam bayangan rasa takut terhadap pembalasan. Sementara orang bahkan mengatakan: bayangan rasa sesal yang mendalam. Tetapi semuanya patut kiranya diragukan.

Gatot telah diangkat sebagai dewa pelindung dari sistem, yang telah disusun sejak Oktober 1965, di bawah pimpinan Jenderal Suharto. Pada bas-relief untuk memperingati kemenangan ABRI atas kaum komunis, yang merupakan bagian sentral dari sebuah monumen simbolis yang dibangun di Lubang Buaya pada awal tahun 70-an, Gatot dan Suharto digambarkan sebagai tokoh-tokoh yang sejajar dan dalam pose yang sama pula. Di tengah-tengah kemelut politik ini sebelas makam di Ngalihan, yang dalam bulan November 1950 telah digali oleh keluarga masing-masing, dan yang setelah diautopsi dimakamkan kembali, semuanya hilang tanpa bekas. Bahkan ketika majalah Prisma pada hari ulang tahun Amir Sjarifuddin ke-75, dalam bulan November 1982, menerbitkan ringkasan biografinya yang ditulis dengan sangat berhati-hati itu, Menteri Penerangan mengancam pembreidelan majalah tersebut.

Disertasi Pendeta Frederiek Djara Wellem, di bawah bimbingan Pendeta Belanda Th. van den End, tentang pemikiran keagamaan Amir, Amir Sjarifoeddin, Pergumulan Imannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan, yang telah berhasil terbit oleh penerbit Kristen Sinar Harapan tahun 1984, terpaksa harus dihancurkan ketika izin peredarannya ditolak pemerintah. "Saya ingin melihat sejauh mana yang bisa kita lakukan", kata penerbit W.B. Sidjabat tentang naskah tesis itu setahun sebelumnya.

"Kita ingin tahu, apakah sekarang sudah mungkin berbicara secara terbuka tentang Amir Sjarifuddin".

Tesis Wellem yang mencerminkan pandangan sementara orang Kristen Indonesia, yang secara kebetulan mengenal Amir ini, melukiskan Amir sebagai semacam rasul.

Justru karena cintanya kepada manusia, Amir menjadi terseret oleh godaan untuk menandatangani perjanjian dengan setan komunis, yang akhirnya ternyata harus ditebus dengan nyawanya. Dengan sangat emosional tesis itu bermaksud memulihkan nama tokoh yang dilaknat ini. Kiranya para pejabat yang telah menjatuhkan larangan terhadap buku itu tidak mungkin mengetahui lebih selain dari judulnya saja. Tetapi usaha untuk mengusir setan dari tokoh yang oleh Negara telah dinyatakan kerasukan, dan kemudian menjadikannya semacam Faustus politik ini, sudah merupakan langkah awal tindak subversi, jika Negara yang dimaksud di sini ialah negara yang dibayangkan Gatot dan Suharto.

II

MASA hidup Amir Sjarifuddin terentang sepanjang paruh pertama abad ke-20. Usia itu habis diserap oleh penemuan dan kegagalan harapan-harapan besar dari jamannya, seperti yang terungkap dalam kata-kata "kemerdekaan nasional", "kedaulatan rakyat", dan "sosialisme". Seperti juga di mana-mana, di Indonesia pun, bagi barang siapa yang ambil bagian di dalamnya, semua kata-kata itu dipadatkan dalam sepatah kata saja: "revolusi". Amir, seperti beberapa pemuda Indonesia lain yang seangkatan dan sepergaulan dengannya, disadarkan tentang arti kata "revolusi" dan janji-janjinya, pertama-tama melalui apa yang dipelajarinya dari guru-guru Belanda mereka tentang Revolusi Prancis, ketika masih belajar di sekolah menengah dan sekolah tinggi hukum.

Memang lebih banyak kepada Revolusi Prancis inilah, dan bukan revolusi-revolusi Amerika atau Rusia, ia selalu memalingkan pandangannya.

Bagi Amir "Prinsip Harapan" (meminjam kata-kata kunci Ernst Bloch) untuk Indonesia pertama-tama memperoleh bentuknya pada manifestasi tiga gabungannya:

"satu nusa, satu bangsa, satu bahasa". Rangkaian konsep-konsep ini didasarkan pada gagasan akademis Belanda tentang Taal-, Land- en Volkerakunde sebagai keseluruhan, dan diambil oleh para mahasiswa yang menamakan diri sebagai bangsa Indonesia, serta mengubahnya menjadi tuntutan Yakobin dalam tahun 1928. Tetapi "Prinsip Harapan" itu juga berfungsi lain. Sebagai sarana memasuki Indonesia yang baru saja dirumuskan, yang sepertinya sudah ada, bisa dimengerti dan diterima oleh semua, prinsip ini juga membentuk suatu labirin yang kabur dan goyah walaupun telah diberi contoh-contoh untuk meneranginya.

Sepanjang duapuluh tahun, 1928-1948, Amir telah membaktikan separuh umurnya kepada politik. Dan untuk itu ia pun harus menempuh sepanjang labirin, untuk menemukan jalan ke luar daripadanya. Namun tidak jarang harus menemui jalan buntu.

Bagi Amir labirin itu berbentuk permainan enam orang tokoh, yang satu sama lain saling berhadapan dalam pasang-pasangan yang selalu berubah-ubah. Ada pemainpemain utama, yaitu Sukarno dan Hatta sebagai pimpinan golongan "partai nasional" (inilah yang dimaksud sebagai "Prinsip Harapan"), yang tertambat pada perjuangan tak terdamaikan untuk menguasai kendali. Sifat permusuhan persekutuan itu mengabadikan mereka dengan sebutan "dwitunggal", sebagai suatu monumen sejarah yang tak bisa diganggu-gugat, simbol persatuan Indonesia yang tak terpisahkan, sejak mereka bersama menandatangani naskah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus

1945.

Selanjutnya ada persekutuan-persekutuan yang masing-masing tersusun dengan pemain-pemain mudanya, yaitu Hatta dengan Sjahrir; dan, walaupun dengan cara yang kurang jelas benar, Sukarno dengan Amir. Ada lagi pasangan antara dua sesama pemain muda saja, yaitu Amir dan Sjahrir. Mereka ini hanya dihubungkan sebagai pasangan untuk para pemain utama, ketika empat pemimpin itu—ibarat empat pilar penyangga dunia—tampil sebagai lambang negara Indonesia antara November 1945 sampai Juni 1947. Tetapi terjadi juga formasi berbalikan: pemain muda yang kuat berpasangan dengan pemain tua yang lemah, yaitu Sjahrir sebagai perdana menteri dan Hatta sebagai wakil presiden. Dalam hal ini Amir sebenarnya sudah menjadi semacam 'kartu mati'. Hatta dan Sjahrir praktis tak terpisahkan lagi sejak mereka pertama kali bertemu, dan mereka pun pernah tinggal bersama selama di pengasingan dari tahun 1934 sampai 1942. Tetapi Amir, bintang Partindo (Partai Indonesia) yang tengah marak itu, dijebloskan ke penjara ketika Sukarno, pimpinan partainya, dibuang

ke pulau pengasingan seperti halnya juga Hatta dan Sjahrir. Terpisah dengannya sejak tahun 1933, Amir baru bertemu kembali dalam tahun 1942, dan itu pun hanya selama beberapa minggu. Jika pasangan dua tokoh muda Amir-Sjahrir ini selama bulan-bulan terakhir tahun 1945 oleh sementara sejarawan ditonjolkan, namun tidak dengan katakata yang digunakan pasangan tokoh-tokoh yang tua: kata-kata rujukan pada sosialisme menggantikan nasionalisme (inilah salah satu cara bicara tentang arti Perang Dunia II dari sudut sang pemenang), walaupun tetap di dalam acuan yang ditempa para tokoh tua itu. Partai Rakyat Sosialis yang diumumkan berdirinya oleh Sjahrir dalam bulan November 1945 itu (walaupan hanya hidup di atas kertas, tetapi ini masalah lain lagi), dapat disepadankan dengan Nationale Volkspartij (Partai Rakyat Nasional) bentukan Hatta di Negeri Belanda lima belas tahun sebelumnya, sesudah Partai Nasional Indonesia didirikan Sukarno di Indonesia. Dari Sukarno ke Amir dan Partai Sosialis Indonesia, urutan hubungannya pun sama: "sosialisme" menggantikan "nasionalisme". Kata "revolusioner" yang, dalam rapat-rapat pendahuluan bulan Oktober 1945, disarankan agar dicantumkan pada nama partai sosialis (partai masa depan dari generasi akan datang), ternyata tidak tercantum.

Walaupun hal ini tidak disebabkan oleh ketakutan terhadap akibat yang bisa timbul dari sepatah kata itu.

Lalu ada pula pasangan Kanan-Kiri, yang biasa dipakai untuk mengenali kandungan gerakan kebangsaan, untuk pengganti pasangan Kolot-Modern. Ini justru timbul dalam tahun-tahun 1936-1940, ketika Amir telah bebas dari penjara dalam bulan Juni 1935, dan dipandang sebagai sisa hidup dan saksi dari jaman kepahlawanan. Strategi heroisme, yaitu strategi yang dinamakan "nonkoperasi" dengan pemerintah kolonial, telah mengalami kegagalan. Oposisi radikal terhadap pemerintah menjadi lumpuh, oleh karenanya terlalu lemah untuk berhadapan dengan represi yang keras. Dalam debat tentang strategi jangka panjang untuk mengusir Belanda (karena "kaum loyalis" juga menginginkan kekuasaan), masalah nonkoperasi dan koperasi lalu tersisih (menurut istilah saat itu koperasi ialah "loyalitas"). Masalah beralih pada usaha mencari cara-cara aksi yang lain, sehingga karenanya cita-cita sosial dari aksi-aksi politik menjadi jelas, dan bentuk-bentuk identifikasi baru pun ditemukan. Golongan yang menempuh jalan nonkoperasi menamakan diri mereka sebagai "Kiri", dan menyebut golongan "loyalis" sebagai "Kanan". Kaum Kiri baru ini diidentifikasi pada pribadi Amir, dan berdasar ini juga tahun-tahun 1936-1940 merupakan "tahun-tahun Amir". Tetapi juga kaum Kanan mempunyai tokoh simbolnya, yang baik oleh para pejabat Belanda maupun sementara tokoh Kiri sebagai lawan berdebat, yaitu Thamrin.

Pada akhir tahun '30-an gerakan anti-kolonialisme yang luas beraneka macam, seperti yang pada tahun 1939 tergabung dalam GAPI atau Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia itu, mempunyai dua kepala: Amir dan Thamrin. Ini sungguh keterlaluan.

Ternyata kedua-duanya memang digeser, masing-masing ditarik oleh partainya dari sekretariat GAPI. Namun sebenarnya ini hanya suatu krisis baru dalam gerakan, yang diakibatkan oleh invasi Jerman atas Negeri Belanda. Krisis ini berakibat tragis. Oleh alasan-alasan yang sama sekah tidak jelas, Amir menarik diri atau minggir dari percaturan. Langkah ini dilakukannya sesudah terjadi polemik yang panjang dan ramai dengan Thamrin, yang berlangsung melalui seorang wartawan (yaitu Tabrani, pemimpin redaksi Pemandangan, yang ingin membuat perhitungan pribadi dengan Thamrin). Thamrin, yang dicurigai melakukan hubungan gelap dengan Jepang itu, dalam bulan Januari 1941 meninggal oleh serangan jantung pada umur 47 tahun, yaitu sesudah rumahnya digerebek dan digeledah oleh polisi Belanda.

Kemudian ada tokoh keenam, yaitu Musso. Beberapa bulan sesudah disingkirkan Sukarno, Amir diberi tanggungjawab (atau, tergantung bagaimana orang melihatnya, dibiarkan mengambil tanggungjawab sendiri), untuk atas nama Indonesia menandatangani perundingan gencatan senjata Renville yang sangat buruk itu. Ini terjadi bulan Januari 1948. Beberapa bulan sesudah itu Amir menyatakan dirinya sebagai anggota Partai Komunis Indonesia, yang menurut sejarah resmi partai ini telah "dibangun kembali" oleh Musso dalam tahun 1935.

Dalam bulan Agustus 1948, setelah bertahun-tahun dalam pengasingannya di Moskow, Musso kembali ke Indonesia. Segera sesudah tiba ia berusaha menempatkan dirinya sebagai pengasuh citarasa politik bangsa Indonesia. Dengan demikian pernyataan keanggotaan Amir pada Partai Komunis yang retroaktif, pada periode kritis pencarian strategi yang menjelaskan tentang sambutan terhadap kedatangan Musso saat itu, juga harus diartikan bahwa yang disebut "tahun-tahun Amir" sebenarnya adalah "tahun-tahun Musso". Artinya, bahwa sejak 1935 Amir tidak lagi sebagai anak-buah Sukarno, melainkan anak-buah Musso. Tetapi justru Hatta yang melempar ide pasangan Musso-Amir ke tengah gelanggang, sebagai alternative pasangan Sukarno-Hatta. Yaitu pada tanggal 20 September 1948, ketika ia mengumumkan pernyataan seperti yang diucapkan Sukarno sehari sebelumnya, bahwa sebuah republik soviet baru saja diproklamasikan di Madiun. "Malahan kabarnya, saya tidak tahu benar dan tidaknya, bahwa Musso akan menjadi presiden republik serobotannya ini, dan Amir menjadi perdana menterinya."1) Sukarno mengecam kup golongan Musso itu, tetapi tanpa menyebut-nyebut nama Amir. Secara fungsional memang Musso yang sama dengannya. Sedangkan Amir adalah masalah Hatta. Dan bukankah Hatta juga yang telah mengambil alih dua jabatan Amir, sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan?

Empat tokoh yang memimpin negara Indonesia selama bulan-bulan pertama, yaitu Sukarno-Hatta-Sjahrir-Amir, menurut urutan kehormatan institusional, naik-turun kursi perdana menteri beriring-iringan seperti angka-angka sebuah arloji otomatis.Satu demi satu mereka turun, angka-angka masing pun berkurang. Akhirnya formasi segi-empat itu hancur, dengan Sukarno dan Hatta saja tersisa. Angkatan muda lenyap.

Dan bersama itu, untuk jangka waktu yang lama, juga impian mereka tentang sosialisme, serta harapan mereka tentang kehidupan politik Indonesia sebagai bagian dari sejarah dunia Kiri.

Generasi muda tampil bersama-sama mengecam kekuasaan berlebihan, yang diberi oleh Undang Undang Dasar 18 Agustus 1945 pada presiden Republik, yang sekaligus juga perdana menteri. Tentu saja pendirian itu mendapat tumpuannya yang kuat pada Wakil Presiden. Maka sudah dalam bulan November 1945, pemerintah Sukarno diganti pemerintah yang dipimpin Sjahrir. Mungkin sekali justru hubungannya dengan wakil presiden inilah yang telah memudahkan pengangkatan baginya. Sejak itu dewan menteri bertanggung jawab kepada suatu majelis yang diangkat dari wakil-wakil berbagai organisasi, dan yang sifat perwakilannya tidak diketahui. Orang hanya mengharap bahwa kelak, pada suatu ketika, majelis ini dapat diganti suatu badan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum.

Amir yang mengganti Sjahrir memimpin pemerintahan selama enam bulan hanyalah merupakan suatu parentesis. Sekalipun masa enam bulan ini merupakan bulan-bulan perang dan perundingan gencatan senjata. Situasinya eksplosif, dan terasa sedang mencari-cari kambing hitam. Seketika Amir telah dikorbankan, demi dirinya Hatta merestorasi sistem presidentil (yang dahulu ia sendiri membantu menghapusnya itu), dengan dukungan mereka yang selalu melawan pemerintah apa pun sejak November 1945. Dialah pemenang besar dalam permainan ini. Dan seperti Sukarno yang telah meninggalkan Amir, Hatta pun dapat berjalan sendiri tanpa Sjahrir, yang memang tidak lagi tampil di dalam pemerintahan.

Dari Empat Serangkai itu Amir yang paling lemah. Satu-satunya kekuatan padanya hanyalah karena ia pernah dipenjara dan dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Kecuali itu sebagai menteri ia bisa dipakai sebagai jaminan pemerintah (tetapi yang sekaligus menimbulkan rasa tidak enak), yang risau ingin memperlihatkan kedekatannya pada Sekutu yang pada 29 September 1945 telah mendarat. Amir ialah jaminan, bahwa kemerdekaan yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 bukanlah tanda-mata perpisahan dari Jepang. Secara eksplisit Amir tidak pernah mengatakan, bahwa nyawanya telah disambung berkat campur-tangan Sukarno atau Sukarno dan Hatta, sebagai pemimpin-pemimpin pemerintah Indonesia saat di bawah Jepang itu. Tetapi ketika masalah ini diangkat oleh pers, ia juga tidak membantahnya. Dengan demikian Amir telah ikut membantu menyebar citra Sukarno dan Hatta sebagai pelindungpelindung gerakan bawah tanah, yang untuk saat itu diperlukan dan bahkan sangat penting. Namun demikian, walaupun sementara itu Amir sudah diangkat sebagai

menteri, ia baru dibebaskan dari penjara pada tanggal 1 Oktober, enam minggu sesudah proklamasi kemerdekaan; karena Sekutu sudah mendarat, maka menjadi sangat penting tokoh Amir ditampilkan. Hal ini menimbulkan beberapa tanda tanya: sejauh mana sesungguhnya pengetahuan Sukarno dan Hatta tentang nasib Amir selama masa pendudukan Jepang; dan selanjutnya juga tentang kapasitas mereka mengintervensi penguasa Jepang di dalam masalah ini. Selain itu, sekali percaturan politik telah beralih dari masalah perlawanan terhadap Jepang, dan kisah tentang gerakan bawah tanah itu pun sudah tidak terlalu diperlukan lagi, maka tanpa malumalu Sjahrir berbicara sarkastis tentang kegiatan anti-Jepang Amir (misalnya jika kita baca bagian terakhir Out of Exile). Lebih dari itu Sjahrir bahkan melukiskan Amir tidak lebih sebagai seorang kacung Belanda belaka. Jelas, juga Sjahrir pribadi mempunyai citra "pejuang bawah tanah" yang hendak dibelanya. Karena masingmasing orang angkatan tua harus mempunyai "tokoh pejuang"-nya sendiri-sendiri, jika Amir untuk Sukarno, maka Sjahrir untuk Hatta. Tetapi karena citra "pahlawan" pada dirinya itu agak kabur, tentu saja Sjahrir hanya akan berhasil membelanya dengan jalan mendiskreditkan citra tokoh-tokoh lain yang lebih jelas gambarannya.

No comments: