Footer Widget #4

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutchRussianPortugueseJapaneseKoreanArabicChinese Simplified

Wednesday, August 28, 2013

Sejarah RSPAD Gatot Soebroto (2 - habis)

 
Masa kepemimpinan Dr.Djailani relatif pendek dan tanggal 12 April 1993 jabatan Ka RSPAD diserah terimakan kepada KOLONEL Dr. BONDAN HARIONO, SpM.
Kolonel Dr. Bondan Hariono, SpM.

Dibawah kepemimpinan dr. Bondan titik berat pada kesejahteraan personel, kepada setiap karyawan diberikan tanda simpati dari Pimpinan antara lain berupa uang untuk modal tabungan pada Bank Bukopin, meskipun tidak besar tetapi cukup memberikan kesan yang mendalam, selain itu juga Kupon cukur dimana dengan kupon ini setiap personel dapat potong rambut di Unit Cukur Primkopad maupun Salon di RSPAD.
Pada tahun 1994, RSPAD mendapat kehormatan dengan adanya kunjungan kerja Kasad (Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar) serta memperoleh tambahan fasilitas kendaraan dinas untuk antar jemput personel. RSPAD juga berhasil menggalang kebersamaan sesama Balakpus / Kotama TNI AD dan atas dasar kebanggaan akan RSPAD hampir seluruh Balakpus membangun prasasti di halaman taman RSPAD. Pada tahun 1994 tercipta lagu Hymne RSPAD yang liriknya ditulis oleh PNS Drg.Lely Bondan. Selain itu suasana kerja di RSPAD menjadi lebih menyenangkan karena tercipta adanya kebersamaan antara Pimpinan dan Warga RSPAD Gatot Soebroto.
Pada pertengahan tahun 1995, RSPAD mendapat bantuan Presiden berupa pembangunan unit penunggu pasien "Wisma Bermis" yang ditujukan bagi keluarga pasien yang harus menunggu dan memerlukan tempat istirahat. Bagi mereka yang membutuhkan dan menginap disini dikenakan biaya pemeliharaan bangunan.
Pada periode ini juga dibentuk Unit Penitipan Anak (TPA) yang kemudian diberi nama Wahana Bina Balita. Pembentukan unit ini sangat berkaitan dengan pengakuan RSPAD sebagai Rumah Sakit sayang bayi dan mendapatkan Penghargaan Nasional serta pengakuan dari WHO. Dengan adanya Unit Penitipan Anak, Karyawati RSPAD yang mayoritas dapat bekerja dengan lebih baik dengan tetap memberikan ASI kepada bayinya karena selama bekerja bayi berada dilingkungan RSPAD. Dengan bantuan Ibu Menteri Sosial (Inten Suweno) dan Kodam Jaya dibangun Unit Penitipan Anak 2 lantai.

Brigjen Dr. R. Paul
4 April 1995 - 4 April 1997

Pada tanggal 28 April 1995 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan kepada BRIGJEN TNI Dr. H. RICHARD PAUL, SpAn., Pada akhir tahun 1995 diresmikan Unit Perawatan Paru (Jantung Paru), Unit Keswa dan Asrama Putra serta gedung penunggu pasien "Wisma Bermis". Pada era kepemimpinan Dr.Richard Paul dilakukan adanya peningkatan mutu pelayanan, yakni dengan melakukan penyempurnaan buku-buku petunjuk pelaksanaan pelayanan, SOP Medis dan mengikuti Akreditasi untuk 5 Jenis pelayanan yang meliputi ; Administrasi dan manajemen, Rekam Medis, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik dan Pelayanan Asuhan Keperawatan.
Oleh Tim Surveyor dari Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) RSPAD dinyatakan lulus dengan predikat ter-Akreditasi Penuh untuk 3 tahun (sampai Januari 2000).
Pada ulang tahun RSPAD ke 45 tahun 1995, diterbitkan buku kenangan 45 tahun Perjalanan Pengabdian RSPAD Gatot Soebroto.
Brigjen TNI Dr.Richard Paul mendapat promosi jabatan menjadi Kapusrehabcat Dep.Hankam dan menyerahkan tongkat kepemimpinan RSPAD kepada Kolonel CKM Dr. SUYAKA SUGANDA, Sp.OG pada tanggal 4 April 1997.

Brigjen Dr. Suyaka Suganda .A-
April 1997 - 1 Mei 1998
Era pembangunan fisik dalam arti pembangunan unit / bangunan baru pada kurun waktu ini mengendor. Penataan fisik berupa relokasi unit unit yang merupakan show window RSPAD serta perbaikan sarana perawatan antara lain Unit Medical Check Up, Instalasi Farmasi serta Bank Darah RSPAD Gatot Soebroto (bekerja sama dengan PMI DKI Jaya). Penyempurnaan manajemen Yankesmasum dengan menyempurnakan Struktur Organisasi Pavilyun Kartika, Pavilyun Darmawan dan unit Yanmasum lainnya. Selain itu juga dibentuk Tim Pengembangan Yankesmasum yang merupakan pembantu Ka RSPAD dalam mengkoordinasikan penyelenggaraan Yankesmasum di RSPAD Gatot Soebroto.
Pada kurun waktu ini pula penyempurnaan manajemen juga lebih intensif antara lain dengan dibentuknya Costumer Service guna meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto. Konsep validasi organisasi RSPAD dibahas lebih inten dengan menyusun Orgas RSPAD yang lebih mampu menjawab tantangan tugas kedepan dengan mencantumkan adanya Jabatan Fungsional disamping Jabatan Struktural yang telah lazim. Dan untuk menjamin kelancaran pembinaan jabatan fungsional juga disusun konsep Buku Petunjuk tentang Jabatan Fungsional yang saat ini telah disampaikan kepada Pimpinan TNI untuk mendapat pengesahan.
Brigjen TNI Dr.Suyaka Suganda harus merelakan konsepsinya yang belum selesai untuk dilanjutkan oleh penerusnya KOLONEL CKM Dr.EDY HARHARUN Sp.PD, karena mendapat promosi menduduki jabatan sebagai Dirkesad.
Kolonel CKM Dr.Edy Herharun Sp.PD

Konsep yang ditinggalkan Brigjen Dr.Suyaka, pada masa kepemimpinan Dr. Edy Harharun yang relatif singkat hampir semuanya mendekati tuntas. Konsep validasi Organisasi yang merupakan hal yang paling mendesak dapat diselesaikan dan siap diajukan kepada supra sistem untuk dilakukan Uji Teori. Demikian pula dengan pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit tingkat lanjutan untuk 12 jenis pelayanan yang sukses dilakukan oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit yang dilaksanakan beberapa hari sebelum Dr.Edy Harharun menyerahkan tugas jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto kepada Kolonel CKM Dr.A.Suharto Sp.BD. MARS. Dan berkat kerja keras seluruh jajaran Rumah Sakit RSPAD lulus dan dinyatakan ter-Akreditasi penuh oleh Departemen Kesehatan RI, penyerahan Sertifikat Akreditasi dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2000.
Brigjen TNI Dr.Edy Harharun menyerahkan tongkat kepemimpinan RSPAD kepada penggantinya KOLONEL CKM DR.A.SUHARTO pada tanggal Nopember 1999.
Brigjen Dr. A. Suharto, SpBD. MARS
16 Nopember 1999 - 26 Juni 2000

Brigjen TNI Dr.A.Suharto merupakan Ka RSPAD Gatot Soebroto dengan masa tugas terpendek dalam kurun waktu 50 tahun dengan masa tugas 7 bulan. Dalam masa kepemimpinan yang pendek ini Konsep validasi organisasi RSPAD Gatot Soebroto selesai dituntaskan dengan selesai Uji Teori III dan telah mendapat persetujuan Pimpinan TNI AD yang insya Allah akan segera ditanda tangani. Selain itu terjadi suatu perkembangan baru yang diharapkan akan membawa RSPAD Gatot Soebroto menjadi Rumah Sakit Pendidikan yakni dengan ditetapkannya Kepala RSPAD sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" dengan Surat Keputusan Kasad.
Dibidang manajemen juga dilakukan berbagai penyempurnaan, khususnya Organisasi Tim Pengembangan Yankesmasum yang ditingkatkan kewenangannya menjadi Pembinaan Yankesmasum
Pada tanggal 26 Juni 2000 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen TNI Dr.A.Suharto Sp.BD, MARS kepada KOLONEL CKM Dr.KRISMANTO PRAWIROSUMARTO Sp.RM, selanjutnya Brigjen TNI Dr.A.Suharto menduduki jabatan baru sebagai Dirkesad
Brigjen Dr. Krismanto PS, Sp.RM
26 Juni 2000 – 23 Oktober 2000
Pada tanggal 23 Oktober 2000 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen TNI dr.Krismanto Prawirosumarto, Sp.RM kepada Brigjen TNI dr.Adib Abdullah Yahya, MSc
 
Brigjen Dr.Adib Abdullah Yahya, MSc
23 Oktober 2000 – 18 Juli 2002
Pada tanggal 18 Juli 2002 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen TNI dr.Adib Abdullah Yahya, MSc kepada Brigjen TNI dr.Buddy HW Utoyo selanjutnya Brigjen TNI dr.Adib Abdullah Yahya, MSc menduduki jabatan baru sebagai Dirkesad
 
Brigjen TNI dr.Buddy HW Utoyo
18-07-2002 s.d 18 Juli 2003

Pada tanggal 18 Juli 2003 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen TNI dr.Buddy HW Utoyo kepada Brigjen TNI dr.Mardjo Subiandono, Sp.B selanjutnya Brigjen TNI dr.Buddy HW Utoyo menduduki jabatan baru sebagai Dirkesad
 
 Brigjen TNI Dr.Mardjo Subiandono, Sp.B
18-07-2003 S.D 28 Oktober 2005
Pada tanggal 28 Oktober 2005 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen TNI dr.Mardjo Subiandono, Sp.B kepada Brigjen TNI dr. Djoko Riadi, Sp.B selanjutnya Brigjen TNI dr. Mardjo Subiandono menduduki jabatan baru dokter Tim Presiden Republik Indonesia.
 
Brigjen TNI dr.. Djoko Riadi, Sp.B
18-07-2003 s.d 28 Oktober 2005

Pada tanggal 23 Juni 2008 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen TNI dr. Djoko Riadi, Sp.B kepada Brigjen TNI dr. Supriyantoro, Sp.P selanjutnya Brigjen TNI dr.Djoko Riadi, Sp.B menduduki jabatan baru menjadi Dirkesad.
 
 Brigjen TNI dr. Supriyantoro, Sp.P
23 Juni 2 008 s.d 8 Maret 2010

Pada tanggal 08 Maret 2010 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari., Brigjen TNI dr. Supriyantoro, Sp.P kepada Brigjen dr Chairunan Basbullah MARS selanjutnya Brigjen TNI dr. Supriyantoro, Sp.P menduduki jabatan baru sebagai DIRKESAD
 
Brigjen TNI dr. Chairunan Basbullah MARS
08 Maret 2010 s.d 30 Juli 2010
Pada tanggal 30 Juli 2010 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen dr Chairunan Basbullah., kepada Brigjen dr Dedy Achdiat Dasuki Sp. M selanjutnya Brigjen TNI dr. Chairunan Basbullah MARS .menduduki jabatan baru sebagai DIRKESAD
Brigjen TNI dr. Dedy Achdiat Dasuki Sp. M
30 Juli 2010 s.d 01 Oktober 2010

Pada tanggal 01 Oktober 2010 jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto diserah terimakan dari Brigjen dr Dedy Achdiat Dasuki Sp. M., kepada Brigjen Ckm dr. Komaruddin Boenjamin Sp. U selanjutnya. Brigjen dr Dedy Achdiat Dasuki Sp. M menduduki jabatan baru sebagai DIRKESAD
Brigjen TNI dr. Komaruddin Boenjamin Sp. U
01 Oktober 2010 s.d sampai saat ini

Sejarah RSPAD Gatot Soebroto (1)


Pembangunan instalasi Rumah Sakit Militer di Nusantara pada awal abad 19 adalah salah satu bagian dari strategi militer Belanda dalam rangka mendukung politik kolonialisme, untuk tetap mempertahankan tanah jakahan Nederlands Indie, yang dikarenakan berbagai faktor yang mempengaruhi. Hal ini juga merupakan salah satu alasan mengapa diperlukan adanya suatu Rumah Sakit' Lapangan serta tetap dipertahankannya instalasi Rumah Sakit Militer meskipun fasilitas pelayanan kesehatan baik Rumah Sakit Umum maupun Puskesmas sudah menyebar sampai ke pelosok pedesaan. Untuk mengetahui lebih jauh alasan mengapa Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan marilah kita tengok sejenak lembaran sejarah, yang disarikan dari tulisan yang pernah dimuat dalam buku "catur windu RSPAD Gatot Soebroto' dan `45 tahun RSPAD Gatot Soebroto'.
  
Tempoe Doeloe
Tenang dan Sunyi. Jalan dr.Abdulrachman Saleh (waktu itu : Hospitaalweg)
belum dipadati manusia dan kendaraan parkir

MASA PENJAJAHAN BELANDA
Pada akhir abad ke 18, tepatnya tahun 1789 daratan Eropa digetarkan oleh pecahnya Revolusi Perancis dibawah Napoleon Bonaparte. Perang terus terjadi antara Perancis melawan Inggris, Rusia, Austria, Belanda dan lain-lain. Gaung revolusi ini sangat kuat dan sangat ditakuti, akibat lebih jauh dari revolusi ini telah membuat catatan sejarah dimana Indonesia pernah menjadi wilayah koloni Inggris antara tahun 1811-1816.
Pada akhir abad ke 18 ini pula Verenigde Oost-Indische Companie (VOC) atau lebih akrab dengan sebutan Kumpeni mengalami kebangkrutan, bukan saja karena hutang-hutangnya yang banyak, adanya mismanajemen dan korupsi tetapi juga kalah bersaing dengan East India Company (EIC) milik orang-orang Inggris yang didukung kekuatan angkatan laut kerajaan Inggris yang sangat kuat dan menguasai hampir seluruh lautan, sehingga pada waktu itu tidak ada kapal¬kapal VOC yang sampai ke Indonesia. VOC dibubarkan dan diambil alih oleh pemerintah Belanda pada tanggal 31 Desember 1799.
Dengan pengambil-alihan dan pembubaran VOC oleh pemerintah Belanda, Raja Louis Napoleon, pada 1807 mengangkat Mr.Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia dengan misi utama menyusun pemerintahan dan melakukan reorganisasi angkatan perangnya untuk meningkatkan ketahanan militer dalam menghadapi perjuangan bangsa Indone¬sia untuk merdeka dan lepas dari kekuasaan penjajah Belanda serta serbuan dari luar terutama Inggris. Pada awal Januari 1808, Daendels yang pada saat itu masih menyandang Marsekal dalam angkatan bersenjata Perancis tiba di Indonesia tepatnya di pulau Jawa. Daendels meminpin pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia dengan dinamika, cara dan gaya seorang militer sehingga dia mendapat julukan "de Ijzeren Maarschalk" atau marsekal besi.
Untuk meningkatkan ketahanan pemerintahannya, Gubernur Jenderal Daendels bukan saja membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan yang selesai dalam waktu satu tahun, tetapi juga memperkuat Militernya dan salah satu upayanya adalah dengan membentuk Dinas Kesehatan Militer (Militaire Geneeskundige Dients, MGD) dan mendirikan 3 Rumah Sakit Militer (Groot-Militaire Hospitalen) masing-masing di Jakarta (bukan di lokasi RSPAD sekarang), Semarang dan Surabaya. Selain itu juga dibangun Rumah Sakit Garnizun di dalam atau di dekat tangsi militer.
Daendels dalam membangun Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit Militer dibantu oleh J.Heppener salah seorang murid Prof.Brugmans seorang organisator ulung dan pembaharu dinas kesehatan militer di Eropa, yang memasukan fungsi kesehatan preventif dalam dinas kesehatan militer (MGD). Rumah Sakit dibangun menurut petunjuk Brugmans, misalnya : bangunan yang luas, sistim ventilasi yang memudahkan sirkulasi udara. "Gangraena Nosocomialis" harus dicegah dengan jarak penempatan tempat tidur yang cukup jauh, baju pasien dan perlengakapan tempat tidur harus sering diganti, bangsal harus bersih, makanan harus bergizi dan pasien dipisahkan menurut jenis penyakitnya.
Pada bulan Mei 1811, Daendels dipanggil pulang ke Belanda, dan pada bulan September 1811 pulau Jawa diserbu dan dikuasai Inggris dan Thomas Stamford Rafles seorang ilmuwan, diangkat menjadi Letnan Gubernur Jawa. Penjajahan Inggris berlangsung sampai tahun 1816.
Pembangunan Groot Militair Hospital Weltevreden. Telah dikemukakan di atas bahwa Daendels membangun tiga rumah sakit militer besar di Jawa (Jakarta, Semarang dan Surabaya). Di Jakarta, dimana? Kapan dibangun ? Dari buku karangan Dr. D.Schoute disebutkan bahwa "buiten¬hospitaal" ex VOC-lah yang mula-mula dijadikan RS Militer besar. Disamping itu disebut juga Militair Hospitaal Meester Cornelis (Jatinegara) dan Weltevreden (bukan di lokasi RSPAD sekarang) kedua RS ini dibangun dalam tangsi dan dipimpin oleh seorang bintara sebagai "managemeester". Jadi bukan RS dalam arti yang sebenarnya.
Pada tahun 1819 jumlah tempat tidur RS ini ditingkatkan dari 222 TT menjadi 400 TT, jumlah ini pada tahun 1825 sudah tidak memadai karena jumlah anggota militer yang dirawat semakin banyak sebagai akibat semakin gencarnya perjuangan bangsa Indonesia yang menginginkan kemerdekaan (perang Maluku, perang Palembang, perang Bone, perang Paderi, Perang Diponegoro dan sebagainya).
Adanya perubahan kebijakan dari Kabinet Gubernur Jenderal, memaksa Groot Militaire Hospitaal dipindahkan ke lokasi RSPAD sekarang yang terdiri atas
Enam bangsal perawatan sepanjang 837 kaki, dimana untuk setiap pasien diperhitungkan kebutuhannya 21/4 kaki.
  • Bangsal perawatan pasien penyakit jiwa. Bangsal perwira sepanjang 112 kaki yang dihubungkan dengan bangunan untuk perwira jaga dan kantor sepanjang 30 kaki.
  • Sebuah Apotik dan rumah dinas untuk Apoteker.
  • Rumah mandi dan rumah dinas untuk "badmeester"
  • Kamar Jenazah.
  • Dapur dan rumah tinggal Juru Masak.
  • Gudang pakaian, rumah portir dengan tempat jaga.
  • Kandang kuda dengan tempat keretanya ditambah dua bangunan masing-masing untuk pekerja kasar dan tempat tahanan pekerja.
Pembangunan RS ini berjalan agak lama dan menurut catatan D.Schoute diperkirakan selesai pada bu/an Oktober 1836. Disinilah perkembangan ilmu, penelitian dan pendidikan kedokteran dimulai. Peristiwa besar terjadi dimana pada tahun 1896 Dr.C.Eykman dapat memastikan de/is/ens/ makanan sebagai penyebah penyakit Beri-beri dan menemukan Vitamin B, atas penemuannya Eykman dianugerahi Hadiah Nobel pada tahun 1929. Di RS Militer ini pulalah Pendidikan Dokter Jawa dirintis dan kemudian dikenal dengan STOVIA (School tot Opleiding van Indlandsche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi).
Militerisasi pe/ayanan kesehatan ber/angsung hampir satu abad. Dan baru pada tahun 1911 didirikan Dinas Kesehatan Sipil dan tahun 1919 dibanguan Centrale Burgelijke Ziekeninrichting (CBZ) Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo, atau delapan puluh tiga tahun setelah RS Militer Jakarta (RSPAD sekarang). Bangunan lama yang sekarang tetap dipertahankan adalah bangunan yang saat ini digunakan sebagai /nsta/asi Farmasi RSPAD Gatot Soebroto.

Masa Penjajahan Jepang - Revolusi
Fisik / Kemerdekaan.

Pada tanggal 8 Maret 1942, Angkatan Perang Hindia Belanda di bawah pimpinan Letnan Jenderal H. Ter Poorten menyerah kepada tentara Jepang di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitosyi Imamura. Sejak saat itu berakhirlah Pemerintahan Hindia Belanda di tanah air Indonesia tercinta dan digantikan oleh Pemerintahan Dai Nipon Sang Saudara Tua. Namun RS Militer ini selama pemerintahan Jepang tetap berfungsi sebagai RS Militer dibawah komando Angkatan Darat (Rikugun) Jepang sebagai Penguasa Militer Jawa dan kemudian dikenal sebagai Rikugun Byoin.
Jepang dipaksa menye¬rah kepada Tentara Sekutu pada tanggal 15 Agutus 1945 setelah Hiroshima dan Naga-saki dijatuhi Bom atom. Dan pada tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Indonesia dipro¬klamirkan ke seluruh penjuru tanah air. Namun dunia khu¬susnya Belanda masih belum mengakui kedaulatan Indone¬sia, akhirnya pusat pemerin¬tahan Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta dan Rikugun Byoin (RS Militer) kembali kembali dikuasi oleh KNIL dan berubah menjadi Militaire Geneeskundige Dienst (Rumah Sakit Jawatan Kesehatan Angkatan Darat) dan terkenal dengan nama lain "Leger Hospitaal Batavia" yang terletak dijalan Hospitaal Weg, sekarang JI. dr. Abdul Rahman Saleh.
Persiapan Penyerahan Mil/ta/re Genee Skund/ge d/Enst (Leger Hosp/ital Batavia) Kepada Tentara Nasional Indonesia.

Kolonel Dokter Suselo Wirjosaputro
KOLONEL DOKTER SUSELO WIRJOSAPUTRO adalah dokter TNI pertama yang masuk ke Militaire Geneeskundige Dienst (Januari 1950), beliau diberi tugas untuk melakukan persiapan penyerahan Rumah Sakit ini dari Pihak Militer Belanda kepada TNI, berkenaan dengan pengakuan kedaulatan Republik Indone¬sia pada 29 Desember 1949 sesuai hasil Koferensi Meja Bundar KMB) di Den Haag Belanda yang juga memutuskan pengalihan berbagai instalasi militer di Indonesia, antara lain Militaire Geneeskundige Dienst Oost Java (sekarang Kesdam V Brawijaya) dan Militaire Hospitaal di Malang (sekarang Rumkit Soepraoen) pada bulan April 1950.
Leger Hospitaal Batavia (Rumah Sakit Tentara Belanda) pada waktu itu berkapasitas 1000 tempat tidur, lengkap dengan bagian anak dan bersalin. Bahkan di bagian Radiologi telah dilengkapi dengan peralatan Rontgen untuk terapi dan untuk pemeriksaan massal Masschess Unit serta alat Radium untuk terapi kanker rahim, selain itu dibagian fisioterapi telah pula dilengkapi dengan alat fisioterapi elektronik. Dengan fasilitas perawatan yang ada pada waktu itu, Rumah Sakit ini terbilang paling lengkap dan modern.

Pada tahun 1950 Rumah Sakit yang dipimpin oleh Kolonel Dr. Van Bommel ini memiliki 60 tenaga dokter (10 diantaranya dokter spesialis), 300. perawat Belanda dan 300 orang pembantu perawat berkebangsaan Indonesia serta tenaga-tenaga bantuan lain yakni petugas dapur, pencucian, tukang kebun dan tenaga bantuan lainnya. Salah satu tenaga spesialis yang ternyata dapat lebih lama bekerja di Rumah Sakit ini adalah dokter Borgers, seorang dokter spesialis bedah.
Dalam mempersiapkan penyerahan Leger Hospitaal kepada TNI, Kolonel Dr.Suselo dibantu oleh Letkol Dr.Marsetio ahli penyakit mata dan Letkol Dr. Senduk ahli Bedah serta dokter Iman Sudjudi ahli kebidanan dan kandungan. Sebagai calon perwira Staf terdiri dari Kapten Lumingas dan Kapten Senduk (famili dokter Senduk). Selain itu Kol Dr Suselo membawa Staf Pembantu dari RST Slawi yaitu I.Sriyatno (sekarang Letkol Purnawirawan), Nn.Asmini Murti (kemudian menjadi isteri Dr.Yusuf Djajakusuma dan menjadi dokter ahli ilmu penyakit anak), Ny.Ali Murtolo, Kapten Dwidjosumarto dan Sudarto. Tim yang dipimpin Kol Dr.Suselo semula berkantor di Ruang Tamu Asrama Putri (lokasinya di Unit Rehab Medik sekarang), kemudian pindah ke lantai 2 bagian kebidanan (sekarang digunakan untuk Akademi Kebidanan).
Pembicaraan tentang persiapan penyerahan Rumah Sakit pada awalnya berjalan lancar, namun selanjutnya sering terjadi kemacetan yang disebabkan beberapa masalah yang tidak mendapat kesepakatan kedua pihak. Perlu kiranya kita ketahui bahwa kol Dr.Suselo Wiryosaputro adalah seorang nasionalis sejati yang idealis dan memiliki kepribadian amat kuat sehingga oleh pihak KNIL terkadang dinilai kurang kooperatif. Oleh karena itu untuk kelancaran serah terima rumah sakit, Pimpinan Jawatan Kesehatan kemudian menunjuk Letkol Dr.Satrio menggantikan Kolonel Dr.Suselo untuk mempersiapkan serah terima Leger Hospitaal.

Langkah pertama yang dilakukan oleh Letkol Dr.Satrio adalah melanjutkan pekerjaan persiapan dari apa yang tekah dilaksanakan oleh Kol. Dr. Suselo dan melakukan observasi di RST Belanda.
  • Persiapan Tambahan. Untuk menyempurnakan persiapan secara baik, KOL. DR. SATRIO mencari calon Kepala Perawat yang diharapkan mampu memimpin ..perawat-¬perawat Belanda dan seorang Komandan Markas RST yang akan menjamin tegaknya disiplin di RST terutama personel militer eks KNIL dan juga dapat berhubungan baik dengan orang orang Belanda. Sebagai calon Kepala Perawat dipilih Zuster Djudju Sutanandika yang telah berpengalaman memimpin Asrama Pendidikan di RSUP Jakarta dan sebagai Komandan Markas Kapten Drs.Djaka Sutadiwiria bekas ajudan Letkol Dr.Satrio di Brigade Tir¬tayasa, Banten. Untuk persiapan Tim ini berkantor di Pavilyun B (lokasi Medical Check Up dan ICU sekarang).
  • Observasi di Rumah Sakit Tentara Belanda.                                                                                                                                                    
 Setiap pukul 04.00 pagi, aktivitas rumah sakit sudah mulai, suara kereta makanan yang membawa sarapan pasien dari dapur ke seluruh penjuru ruang perawatan (zaal). Begitu matahari mulai terbit petugas teknik berkebangsaan (tali bernama Philippo mulai memadamkan lampu-lampu taman serta mengontrol sarana teknik di Rumah Sakit Tentara. Demikian pula Letnan Solomo yang membawahi personel militer RST (hospital soldaten) dan para tukang kebun dan sebagainya mulai melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Dari Tim Persiapan Penyerahan RST telah mulai mengadakan pembicaraan dengan para petugas RST sesuai bidang tugasnya (Kapten Senduk dan kapten Lumingas menghubungi bagian perbekalan dan keuangan, sedangkan Kapten Dwijosumarto menghubungi Bagian Tata Usaha RST). Dengan kerja keras dan keuletan para anggotanya, Tim dibawah pimpinan Letkol Dr.Satrio berhasil melakukan persiapan dengan baik dan menyatakan siap melakukan serah terima pada tanggal 26 Juli 1950.

UPACARA SERAH TERIMA MIL/TA/RE GENEESKUNDIGE D/ENST (LEGER HOSPITAAL BATAVIA).
Kepala RST Belanda Kolonel Dr.Van Bommel telah dipanggil pulang ke Belanda dan digantikan oleh Letkol Dr. Scheffers.
Pada tanggal 26 Juli 1950 Letkol Dr.Satrio telah siap di lapangan upacara dibawah pohon beringin (dihalaman Instalasi Farmasi sekarang). Letkol Dr.Satrio didampingi oleh Letkol Dr.Marsetio dan Letkol Dr.Senduk serta sekitar 20 orang perawat wanita serta beberapa orang staf. Letkol Dr.Scheffers didampingi oleh anggota eks KNIL yang akan ikut diserah terimakan bersama dengan RST dan Perwira Paramedik tertua Letnan Satu Morgan.
Tamu yang diundang dan hadir adalah Kepala Staf TNI AD Kolonel AH Nasution, Kepala Jawatan Kesehatan TNI AD Letkol Dr.Azis Saleh dan para perwira Staf Umum serta para Perwira Staf Jankesad. Para tamu ini ditempatkan diserambi ruang makan RST (sekarang Pav. Dr.Darmawan PS). Sedangkan tamu-tamu Belanda terdiri dari para perwira Tinggi Tentara Belanda yang juga ditempatkan di serambi ruang makan RST.
Upacara Serah Terima dilaksanakan setelah Kepala Jawatan Kesehatan TNI AD Letkol Dr.Azis Saleh memasuki tempat upacara. Upacara itu sendiri berjalan dengan amat sederhana. Tidak ada korp musik, tidak ada upacara bendera dan tidak terlihat adanya suasana yang meriah atau pesta. Maklum bagi Tentara Belanda, hari itu merupakan hari terakhir mereka mengakhiri kewenangan dan keberadaannya di RST yang besar ini.Naskah serah terima telah disiapkan sesuai kesepakatan. Setelah memberikan sambutan ingkatnya yang penuh keharuan serta keraguan akan kelangsungan RST Letkol.Dr.Scheffers menandatangani naskah serah terima. Dan setelah menandatangani naskah serah terima, Letkol Dr.Satrio menyampaikan pidato singkat yang isinya antara lain menyatakan meskipun terasa berat, kita akan berusaha keras untuk mempertahankan keberadaan dan memajukan Rumah Sakit ini.
   
26 Juli 1950
Serah Terima dari Letkol dr.Scheffer kepada dr.Satrio. Groot Militair Hospitaal Weltervreden menjadi RSTP. Sejarah dan tradisi RS ini selama 114 tahun (1836 – 1950) ditutup. Kita mulai dengan lembaran baru. Kemerdekaan, kemenangan dan harapan.


Sejak saat itu Leger Hospitaal Batavia resmi masuk dalam jajaran Djawatan Kesehatan Tentara Angkatan Darat (DKTAD) dengan nama Rumah Sakit Tentara Pusat disingkat RSTP.

Rumah Sakit Tentara Pusat di Era Onde Lama (1950 -1966)
Setelah Leger Hospitaal resmi diserahkan kepada TNI dan berubah nama Rumah Sakit Tentara Pusat yang disingkat RSTP, Letkol Dr.Satrio memimpin RSTP ini dan menempati Rumah Dinas di Jl. Lapangan Banteng Barat No.32, bekas rumah dinas dokter Borgers (di lokasi ini sekarang bediri Kantor Departemen Agama RI).
Selaku Pimpinan baru Letkol Dr.Satrio melakukan berbagai tindakan antara lain :
  • Melakukan tindakan yang berdampak psikologi, dengan mengangkat Zr.Djudju Sutanandika sebagai Kepala Perawatan (Direktris) yang        telah mengenal sebagian besarsustersuster Belanda. Kemudian mengadakan briefing kepada para suster Belanda. Briefing diberikan          dalam bahasa Belanda berisi falsafah kedokteran yang berdasarkan perikemanusiaan dan tidak diskriminatif, membuat para suster               Belanda menjadi senang dan memberikan ketenangan.
  • Melakukan koordinasi dengan Rumah Sakit Umum Pusat yang waktu itu telah diambil alih oleh dokter Sartono Kertopati untuk melakukan pengisian tenaga ahli guna mengelola bagian-bagian spesialis. Selanjutnya masuklah Prof.Asikin, Prof.Sukaryo, Prof.Johanes menjadi dokter konsulen untuk Interne, Bedah dan Radiologi. Sedangkan Dr.Iman Sudjudi sebagai Kepala Bagian Kebidanan dan Kandungan, dr.Muh Sugiono (pediatri), dr.Sukasah (THT), dr.Sumantri Hardjoprakoso (psikiatri), Prof.Sutomo (patologi), dr.Djuwari (bagian penyakit kulit dan kelamin), dr.Agoes (bagian tuberkulose/paru), dan Kolonel Drg.Moestopo (bagian Gigi dan Mulut). Selain itu dimanfaatkan potensi para Sarjana Kedokteran antara lain Drs.Djaka Sutadiwiria, Drs. Osman Odang (pediatri), Drs.Muhardono (kebidanan dan kandungan), Drs. Haryono (bedah), Drs.F.Pattiasina (patologi), Drs.Harnopidjati, Drs.Mulyoto, Drs.Suwardjono Suryaningrat, Drs.Amino, Drs.Sumantri, mereka diangkat dengan pangkat Kapten.
  • Untuk meningkatkan wawasan para dokter diselenggarakan pertemuan klinik yang dihadiri para dokter RSTP dan RSU, dengan "Early Mobilisation" sebagai topik pertama dan disampaikan oleh dokter Senduk. Selain itu juga diterbitkan Majalah Kesehatan Angkatan Perang, yang mampu terbit sampai beberapa tahun kedepan.
  • Mendirikan pendidikan perawat dan dengan bantuan Miss Murray seorang perawat yang ahli dalam "Nursing Education and Training" didirikan Sekolah Perawat RSTP pada tahun 1951. Saat ini berkaitan dengan perkembangan jaman Sekolah Perawat telah berkembang menjadi Akademi Perawat dan Akademi Kebidanan.

Pada tanggal 1 Maret 1952, Letkol dr.Satrio menyerahkan jabatan Kepala RSTP kepada LETKOL CKM DR.REKSODIWIRJO WIJOTOARDJO. Dikarenakan kondisi politik dan ekonomi pada saat itu selama masa kepempimpinan dokter reksodiwirjo dai 1 Maret 1952 sampai 26 Juni 1956 RSTP terkesan berjalan di tempat. Kondisi saat itu sangat tidak memungkinkan untuk melakukan peningkatan dan pembangunan Rumah Sakit Tentara Pusat.
Sesuai kondisi perkembangan organisasi Djawatan Kesehatan Tentara Angkatan Darat (DKTAD) berubah menjadi Djawatan Kesehatan Angkatan Darat (DKAD), nama Rumah Sakit Tentara Pusat (RSTP) dirubah menjadi Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat disingkat RSPAD, nama ini tetap dipergunakan sampai tahun 1970.
Pada tanggal 25 Juni 1956 Letkol.Dr.Reksodiwirjo mengundurkan diri dari dinas militer dan menyerahkan jabatannya kepada Letkol Dr.MUHAMMAD TAREKAT PRAWIROWIJOTO.
Pada masa kepemimpinan Letkol Dr.Mohammad Tarekat Prawirowijoto (25 Juni 1956 sampai dengan 7 Februari 1959) masa sulit yang disebabkan oleh kondisi politik dan ekonomi saat itu masih sangat mempengaruhi. Hanya anggaran untuk gaji pegawai yang diterima secara rutin ,tepat waktu. Pemeliharaan bangunan
dilaksanakan oleh Zeni yang karena terbatasnya anggaran, hanya mampu melakukan sedikit pemeliharaan bangunan, sedangkan untuk makan pasien tidak ada masalah karena dilaksanakan oleh Intendans Komando Militer Kota Besar Jakarta Raya (KMKBDR) sebagai penguasa areal service, meskipun pembayaran kepada leveransir bahan makanan sering terlambat, atas dasar keluhan leveransir dilakukan koordinasi dengan pihak Intendans KMKBDR.
Pada tahun 1957 RSPAD mendapat tambahan 3 orang dokter lulusan Belanda, dua diantaranya sudah spesialis yaitu : Dr.Noor (Ahli Paru), Dr.Sularjo (ahli THT) dan Dr.Sajoko. Bersamaan dengan penambahan tenaga ahli, sebagian dari mereka dikirim ke daerah operasi untuk menanggulangi pemberontakan PRRI dan pemberontakan lainnya. Pertemuan klinik yang dicetuskan dokter Satrio terus berjalan bahkan diperluas dengan melakukan kerjasama dengan Rumah Sakit Angkatan Laut. Selain itu setiap hari Sabtu dilaksanakan pertemuan yang diikuti oleh bagian perawatan, kepala ruangan, bagian apotik dan detasemen markas untuk menghasilkan koordinasi yang dapat menunjang pelaksanaan tugas.
Letjen TNI Gatot Soebroto
Wakil Kepala Staf TNI AD

Pada tahun 1957 atas prakars, LETJEN TNI GATOT SOEBROTO yang pada waktu itu menjabat sebagai Wakil Kepala Staf TNI AD dibangun sarana bengkel ortopedi, fisioterapi, lapangan olah raga (basket), asrama. Beliau juga memindahkan bengkel ortopedi yang ada di RST Dustira berikut 3 orang personelnya. Bengkel ini dibangun di "pulau" dan dilokasi ini sekarang dibangun Ruang Perawatan Jiwa. Tujuan pembangunan bengkel ortopedi ini tak lain dan tak bukan sebagai salah satu peningkatan kesejahteraan Prajurit khususnya mereka yang karena melak¬sanakan tugas terpaksa kehilangan atau mengalami penurunan fungsi anggota badan. Karena besarnya perhatian kepada RSPAD Gatos Soebroto inilah maka sangatlah tepat nama beliau diabadikan menjadi Nama Rumah Sakit ini.
Pada tanggal 7 Pebruari 1959 jabatan Kepala RSTP diserahterimakan dari Kolonel dr.Muhammad Tarekat kepada Kolonel Dr.RM.PARTOMO.

Kolonel Dr.RM.Partomo

Sampai berakhirnya masa pemerintahan Orde lama, RSPAD Gatot Soebroto belum banyak pembangunan, namun setelah pemerintahan Orde Baru dibangun berbagai fasilitas dengan biaya dari Departemen Pertahanan Keamanan, antara lain Paviliun Perawatan Pati (dibangun mulai TA.1964/1965, selesai dan dipergunakan pada tahun 1967) tempat dimana Presiden RI pertama Ir Soekarno dirawat (sekarang digunakan sebagai Pavilyun Dr.Darmawan), Kamar Bersalin (1968) yang sekarang telah dibongkar dan dijadikan sarana perparkiran, ruang Perawatan Anak (selesai dan diresmikan tahun 1972 oleh Wakasad Letjen TNI Oemar Wirahadikoesoemah).
RSPAD Gatot Soebroto di Era Orde Baru (1966 - 1998)
Di era orde baru, RSPAD Gatot Soebroto memulai mengadakan pengembangan secara signifikan, baik pengembangan fisik khususnya sarana prasarana, organisasi dan sumber daya manusia. Dibidang pelayanan kesehatan RSPAD memasuki era tehnologi tinggi. Karena bersamaan dengan pembangunan fisik bangunan dilengkapi pula dengan peralatan medis baru berteknologi tinggi.
Pada era ini pula organisasi RSPAD berkembang, meskipun kedudukannya tetap dibawah Jawatan Kesehatan TNI AD, RSPAD yang semula dipimpin oleh Perwira Menengah berpangkat Kolonel, dipimpin seorang Perwira Tinggi bintang satu, adalah Dr.Partomo yang kemudian dinaikan pangkatnya dari Kolonel menjadi Brijen TNI pada tahun 1969.
Pada tanggal 7 Desember 1970 Brigjen Dr.RM.Partomo menyerahkan jabatan Kepala RSPAD kepada KOLONEL Dr. FRANS PATTIASINA.

Kolonel Dr. Frans Pattiasina
Untuk memberikan penghargaan dan sumbangsih bagi Prajurit Presiden Suharto menetapkan kebijaksanaan tentang Pembangunan RSPAD Gatot Soebroto menjadi Rumah Sakit yang modern secara bertahap dengan biaya bantuan Presiden, yang diawali dengan ditetapkannya Tim Pembangunan RSPAD Gatot Soebroto dengan Keppres Nomor 31 Tahun 1971. Ditetapkan dalam Keppres Mayjen TNI Dr.Roebiono Kertopati sebagai Ketua Dewan Pengawas, Brigjen TNI Dr. RM Partomo sebagai Ketua Direksi Pelaksana dan Kepala RSPAD Gatot Soebroto sebagai anggota.
Pada tanggal 17 Nopember 1971 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Unit Perawatan Umum dan pada tanggal 25 Nopember 1971 dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Unit Perawatan Bedah.
Guna menghormati dan mengenang jasa Letjen TNI Gatot Soebroto, dengan Surat Keputusan Kasad Nomor : Skep/582/X/1970 tanggal 22 Oktober 1970 nama beliau ditetapkan sebagai nama RSPAD dan sejak saat itu rumah sakit ini bernama "Rumah Sakit Gatot Soebroto" disingkat RSGS.
Pelaksanaan pembangunan terus berlanjut meskipun jabatan Kepala RSPAD Gatot Soebroto pada tanggal 25 Agustus 1972 diserah terimakan dari Brigjen TNI Dr.Pattiasina kepada KOLONEL Dr. R. DARMAWAN PS.
Brigjen TNI Dr. R Darmawan PS, belum lagi setahun memimpin RSPAD harus menyerahkan jabatan Ka RSPAD kepada KOLONEL Dr.RA JUSUF DJAJAKUSUMA pada tanggal 2 Juli 1973, karena diangkat menjadi Kepala Jawatan Kesehatan TNI AD.
Brig/en R. Darmawan PS
25 Agustus 1972 - 2 Jul, 1973

Unit Perawatan Umum yang dikenal dengan Unit I / PU, terdiri atas 6 lantai dengan luas bangunan 13.950 m2 dan berkapasitas 298 tempat tidur yang dibangun sejak Nopember 1971 telah selesai dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 28 Oktober 1974 oleh Jenderal TNI Suharto, Presiden RI pada waktu itu.
Pada tanggal 20 Mei 1976 diresmikan penggunaan Unit Perawatan Bedah. Bangunan ini pada lantai I dan II untuk pelayanan Poliklinik dan Kamar Bedah Pusat, sedangkan lantai III digunakan sebagai Ruang Rawat VVIP dan VIP serta Unit Stroke, sedangkan lantai IV sampai dengan VI digunakan untuk perawatan pasca bedah kelas I, II dan III.
Masih dalam tahun 1976 tepatnya tanggal 6 Nopember 1976 diresmikan Asrama Perawat oleh Ka Puskes ABRI atas nama Menhankam/Pangab, bangunan dengan 8 lantai dengan luas 6.820 m2 dan mampu menampung 308 personel ini terletak di JI.Dr.Abdul Rahman Saleh No.16, karena lokasinya dikenal dengan nama Asrama 16
Tahun 1977 telah selesai pula dibangun unit-unit penunjang meliputi, Unit Dapur, Laundry, Boiler, Gudang Bahan Makanan, dan Kantin Umum (15 Februaru 1977) serta Sentral Telepon (selesai 27 Agustus 1977).
Dalam tahun 1977 juga dilakukan peletakan batu pertama pembangunan Gudang Perbekalan dan Pool Kendaraan (16 Maret 1977), Unit Rehab Medik (20 Juni 1977), Laboratorium Patologi Anatomi (Oktober 1977) dan Unit Kebidanan (Desember 1977).
Sesuai dengan tuntutan dan untuk mempermudah sebutan nama rumah sakit ini, Kajankesad mengeluarkan Surat Edaran Nomor : SE/18NII1/1977 tanggal 4 Agustus 1977 yang menetapkan sebutan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto disingkat RSPAD Gatot Soebroto.
Dalam derasnya pelaksanaan pembangunan pada tanggal 13 Desember 1977 Brigjen Dr.R.A.Jusuf Djajakusuma menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan RSPAD kepada KOLONEL Dr. KURNIA NATADISASTRA.
Kolonel Dr. Kurnia Natadisastra
Selain pembangunan fisik Rumah sakit, dibangun pula Rumah Dinas (Flat) Dokter yang diperuntukkan bagi para dokter yang baru saja mutasi jabatan ke RSPAD atau sedang dalam pendidikan spesialis dan belum memiliki rumah di Jakarta. Pembangunan Flat Dokter dengan biaya dari Mabes TNI terdiri dari 11 unit untuk dokter bujangan dan 16 unit untuk dokter yang telah berkeluarga. Luas bangunan seluruhnya 2.328 m2. Peletakan batu pertama pembangunan Blok B dilaksanakan tanggal 10 Desember 1976 dan selesai dan diresmikan tanggal 31 Januari 1977, sedang peletakan batu pertama pembangunan Flat Dokter Blok A dilaksanakan tanggal 31 Desember 1977 dan selesai serta diresmikan tanggal 5 Mei 1979.
Brigjen Dr.Kurnia Natadisastra menjabat Kepala RSPAD selama lebih kurang 1 tahun 6 bulan dan pada tanggal 31 Mei 1979 menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada KOLONEL Dr. SAMSI JACOBALIS.
Brigjen Dr. Samsi Jacobalis
31 Mei 1979 . 1 September 1983
Beliau selanjutnya memegang jabatan sebagai Kajankesad.
Pembangunan terus berjalan sesuai tahapan yang ditetapkan. Pada tahun 1979 - 1982 banyak bangunan yang selesai dibangun antara lain Unit Kebidanan dan Kandungan (29 Desember 1979), Unit Patologi Anatomi ( 3 Mei 1980), Unit Patologi Klinik (30 Juni 1981), Unit Radiologi dan Poliklinik Tahap I ( 26 Juli 1992).
Peletakan batu pertama pembangunan Unit ICU (sekarang dipergunakan untuk Medical Check Up, Perawatan Intensif /ICU dan Renal Unit), bangunan ini dilengkapi dengan
Helipad di lantai IV.
Pada tanggal 1 Oktober 1981, kantor Pimpinan RSPAD Gatot Soebroto yang semula berada digedung tua berlantai (lokasi gedung Satrio sekarang) dipindahkan ke bangunan Paviliun A (Pav.Darmawan sekarang) untuk mempersiapkan lahan guna pembangunan Gedung Poliklinik Tahap II (Gedung Satrio), dan baru pindah ke gedung baru pada tanggal 18 Februari 1988.
Kemajuan spektakuler dalam dunia kedokteran di RSPAD terjadi pada tahun 1981 dimana RSPAD melaksanakan Proyek Bedah Jantung terbuka dengan bekerjasama dengan Tim dari Amerika dibawah pimpinan Prof. De Becky dan ini merupakan bedah jantung pertama di Indonesia yang sampai sekarang telah mengoperasi lebih dari 1050 pasien di RSPAD Gatot Soebroto.
Selain hal yang spektakuler mengembirakan juga ada hal yang kurang menyenangkan, yakni ditandatanganinya Surat Keputusan Bersama Menhankam/ Pangab dengan Medikbud RI Nomor : 070a / M / 1981 dan Nomor : Kep/ 04 / II /1981 yang dilengkapi dengan Petunjuk Pelaksanaan yang ditetapkan bersama antara Kapuskes ABRI dengan Dekan Fakultas Kedokteran UI Nomor : Juklak/ 09 / XI / 1982 dan Nomor : 2554/II.A./SK/1982 tanggal 20 Februari 1982 tentang penggunaan RSPAD Gatot Soebroto menjadi lahan pendidikan dokter spesialis. Sejak itu RSPAD yang pernah menghasilkan para dokter spesialis yang handal tidak dibenarkan lagi mendidik tenaga spesialis (Hospital Base), hal ini berkaitan dengan ketentuan baru bahwa yang berwenang mendidik dokter spesialis adalah Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Negeri (University Base).
Pada tahun 1982 tepatnya dalam meperingati Catur Windu (32 tahun) RSPAD Gatot Soebroto atas prakarsa Brigjen Dr.Samsi Jacobalis disusun untuk pertama kali buku sejarah RSPAD yang memiliki makna historis sangat dalam dan melibatkan sejarahwan, penulis, peneliti dan pendidik Drs.Abu Sidik Wibowo. Peluncuran Buku Catur Windu ini tepat pada tanggal 26 Juli 1982.
Pada tahun 1982, untuk meningkatkan pelayanan bagi pasien tidak berhak atas ide Ka RSPAD didirikan Apotik Cabang V Khusus (sekarang Apotik PKM) dengan modal awal Rp.12.000.000,- dari dana intern yang awalnya berupa pinjaman sementara namun kemudian dipertanggungjawabkan sebagai pengeluaran rutin.
Pada tanggal 1 September 1982 Brigjen Dr.Samsi Jacobalis menyerahkan jabatan Ka RSPAD Gatot Soebroto kepada KOLONEL Dr. SUMARDI KATGOPRANOTO.
Brigjen Dr. Sumardi Katgopranoto
1 September 1983 - 10 Juni 1989

Pada akhir tahun 1983, dapat dicatat sebagai sejarah baru khususnya dalam Pelayanan Kesehatan bagi Maysrakat Umum di RSPAD Gatot Soebroto dimana dengan dikeluarkannya Petunjuk Sementara Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Umum berdasarkan surat keputusan Kasad Nomor : Kep/1186/III/1984 tanggal 28-3-1984. Hal ini berkaitan erat dengan mulai dikuranginya alokasi dana pemeliharaan bangunan yang semula didukung dengan dana rutin Puskes ABRI dan dana Proyek Tim Pembangunan RSGS (Banpres / Sekneg), yang pada
akhirnya disusunlah proposal pembangunan Unit Pelayanan Masyarakat Umum (kemudian diberi nama Pavilyun Kartika) dan diajukan kepada Pimpinan TNI AD yang selanjutnya mendapat bantuan dana dari Presiden.
Pengembangan pelayanan kesehatan, selain melanjutkan program bedah jantung, RSPAD Gatot Soebroto pada tahun 1986 melakukan Proyek Tansplantasi Ginjal, dan berhasil baik, sampai saat ini telah dilakukan transplantasi ginjal untuk 44 penderita. Dengan adanya krisis ekonomi kegiatan bedah jantung dan transplantasi ginjal sangat terhambat oleh ketiadaan dukungan dana.
Pada tahun 1988, sebagai awal penataan Yankesmasum dibuka Poliklinik Swasta sore hari bertempat di lantai 2 gedung Satrio yang menjadi embrio Yankesmasum rawat jalan dan selanjutnya dengan bekerja sama dengan Primkopad RSPAD Gatot Soebroto dilakukan renovasi Pav.A yang semula digunakan sebagai kantor Pimpinan dan Staf untuk dijadikan Unit Yankesmasum Rawat !nap dan diberi nama Pavilyun Kartika, pavilyun inilah yang merupakan cikal bakal Pav. Kartika sekarang.
Dari bidang organisasi juga terjadi peristiwa penting, dimana lembaga Dep.Hankam dengan Panglima ABRI yang semula dijabat oleh Menhakam sekaligus Panglima TNI dipisahkan.Dep.Hankam dipimpin oleh Menhakam dan ABRI dipimpin oleh Panglima ABRI, berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor : Skep / 07 / P / III / 1984 tanggal 21 Maret 1984 RSPAD Gatot Soebroto ditetapkan masuk dalam jajaran Dep.Hankam. Namun dengan Surat Kasad Nomor : K/253/VIII/1985 tanggal 16 Agustus 1985, RSPAD dapat diserahkan kepada Hankam setelah TNI AD selesai meningkatkan kemampuan Rumah Sakit Tingkat II dengan masa persiapan selama 5 - 10 tahun. Kenyataannya RSPAD sampai saat ini masih dibawah jajaran TNI AD.
Pada tahun 1986 ditetapkan Organisasi dan Tugas RSPAD Gatot Soebroto dengan Keputusan Kasad Nomor : Kep/ 14 / I / 1986 tanggal 23 Januari 1986 dengan kedudukan RSPAD operasional
dibawah Kasad dan administratif dibawah Ditkesad. Kedudukan ini menjadikan RSPAD tidak tergambar dalam Struktur Organisasi Mabesad dan tidak ada dalam Struktur Organisasi Ditkesad.
Tahapan pembangunan RSPAD Gatot Soebroto telah mencapai tahap mendekati selesai dimana pada era kepemimpinan Dr.Sumardi diresmikan berbagai bangunan meliputi : Unit ICU 5 Mei 1983), Unit Teknik dan Bengkel Kayu (1984) dan Poliklinik Tahap II dan Kantor Pimpinan yang dilengkapi dengan Helipad (17 Februari 1988).
Pada tanggal 10 Juni 1989 pucuk pimpinan RSPAD diserah terimakan dari Brigjen TNI Dr.Sumardi kepada KOLONEL CKM Dr.TOERSENO WINARKO A.
Brigjen Dr. Toerseno Winarko A.
10 Juni 1989 - 27 September 1991


Pada tahun 1989, peningkatan mutu pelayanan terus dipacu, penataan halaman dan taman menjadi lebih rapih. Untuk pelayanan kesehatan masyarakat umum mulai ditata lebih serius khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan rawat jalan spesialistik dan pelayanan rawat inap Pavilyun Kartika (sekarang Pav. Darmawan) sebagai embrio Unit Yankesmasum.
Persiapan pelaksanaan pembangunan Unit Yankesmasum (Pav.Kartika sekarang) yang dibangun dilokasi Maditkesad (lama) dengan memindahkan Sekolah Menengah Farmasi (SMF) dan Sekolah Pengatur Rawat Gigi (SPRG) Ditkesad ke JI.Dr.Abdul Rahman Saleh 18 eks Mapusintelstrad dan Mesjid Asysyifa. Pembangunan Masjid yang berlokasi di halaman parkir rumah sakit mendapat bantuan dari Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila. Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan oleh Gubernur KDKI Bapak Wiyogo Admodarminto pada tanggal 3 Nopember 1988 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 17 Nopember 1989 oleh Panglima ABRI (sekarang TNI) Jenderal Try Sutrisno.
Pembangunan Unit Yankesmasum didukung dengan dana bantuan Presiden dan dilaksanakan oleh Tim Pembangunan yang diketuai oleh Brigjen TNI (Purn) Dr.Sumardi Katgopranoto. Tujuan pembangunan unit Yankesmasum Pavilyun Kartika yaitu : untuk meningkatkan kemampuan dukungan dar a operasional RSPAD dan meningkatkan kesejahteraan personel serta sebagai lahan praktek bagi para dokter RSPAD Gatot Soebroto.
Peletakan batu pertama pembangunan unit Yankesmasum dilaksanakan oleh Aslog Kasad pada bulan Januari 1990 dan selesai serta diresmikan oleh Presiden Suharto pada tanggal 16 September 1991.

 
 Kolonel CKM Dr. H.Djailani

Pada tanggal 27 September 1991 Brigjen TNI Dr.Toerseno Winarko A menyerahkan jabatan Ka ASPAD Gatot Soebroto kepada KOLONEL CKM Dr. H.DJAILANI (sekarang Wagub DKI Bidang Kesra) selanjutnya menduduki jabatan baru sebagai Dirkesad.
Operasional RSPAD Gatot Soebroto, mulai memasuki babak baru, pada masa jabatan Dr.Djailani manajemen mulai lebih disempurnakan. Khusus Yankesmasum Pav. Kartika diterima bantuan tenaga ahli dibidang manajemen dari Badan Pengembangan dan Penerapan Teknologi. Hal lain yang patut dicatat adalah pembenahan sistem rujukan pasien, dengan demikian RSPAD diharapkan tidak lagi menjadi Puskesmas raksasa karena banyaknya pasien yang seharusnya dapat ditangani di Rumkit Kesdam dikirim ke RSPAD karena keinginan pasien untuk mendapat pelayanan spesialistik yang lebih lengkap.
Dengan bantuan berbagai pihak RSPAD yang semula terkesan sebagai Puskesmas raksasa sedikit demi sedikit berubah. Pasien mulai dapat mengerti bahwa RSPAD adalah rumah sakit rujukan, dan tidak semua pasien harus ke RSPAD tetapi pasien yang dapat ditangani di rumah sakit Kodam (Tk.ll) cukup ditangani di Rumkit Kodam dan tidak perlu dikirim ke RSPAD.
Pembangunan fisik dimulai kembali dengan pembangunan Unit Keswa, Unit Paru dan Asrama Putra. Unit Rawat Kesehatan Jiwa yang semula menempati lokasi dibelakang unit IKA dibangun baru di "pulau" lengkap dengan bangunan rawat untuk VIP yang berupa rumah (cotage). Bekas lokasi Unit Keswa dibangun Asrama Putra. Unit Perawatan Jantung Paru dibangun di lokasi lama, selain itu juga dibangun 2 unit instalasi pengolahan air limbah.


bersambung ..............2

Monday, July 1, 2013

Founding fathers Tertatih tatih Membangun Republik ini

BANGSAKU  TERTATIH-TATIH



Setelah kemerdekaan diproklamasikan sebuah pekerjaan besar telah menunggu untuk digarap oleh para pemimpin kita.    Sebuah trikondisi menjadi ciri tersendiri bagi bangsa Indonesia yang sedang melakukan revolusi.    Kondisi pertama adalah pemerintah pendudukan Jepang yang kalah perang akan bersikap satria-samurai terhadap janjinya kepada pihak Sekutu yang memenangkan peperangan, yaitu mempertahankan status quo di Indonesia untuk kemudian akan diserahkan kepada pihak Sekutu.   Jepang masih menguasai senjata dan melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan sementara sampai Sekutu tiba di Indonesia.     

Kondisi kedua adalah Pemenang perang yang diwakili oleh Inggris, yaitu  Sekutu dimana Belanda ikut bergabung, akan menerima penyerahan Indonesia dari tangan Jepang dalam keadaan status quo yang terjaga, termasuk penerimaan para tawanan Belanda yang disekap dalam tahanan oleh Jepang dan penerimaan seluruh personel militer dan sipil Jepang beserta persenjataannya sebagai penyerahan diri kepada Sekutu.   Sangat mungkin sekali Belanda sebagai anggota Sekutu akan ikut masuk kembali ke Indonesia bersama Inggris.     

Adapun kondisi ketiga adalah  seluruh bangsa Indonesia dalam momentum puncak dari semangat merdeka dan berdaulat, dengan para pemimpin gabungan politisi tua dan politisi muda  yang dari sejak persiapan proklamasi telah berbenturan dalam fikiran, sikap, dan tindakan.    Bagaimana mereka menggarap pekerjaan besar itu saya tidak mengalaminya sendiri karena masih umur Balita (bawah lima tahun).    Berikut uraian dalam bentuk jurnal berdasarkan penuturan para pelaku dari kedua kelompok usia dan ragam pandangan politiknya setelah saya lakukan pendalaman untuk menyesuaikan waktu dan menjajarkan pola pandang yang mendasari tindakan mereka.

Terpasung predikat kolaborator

 
Dalam hari-hari akhir masa kekalahan Jepang dari Sekutu, Belanda rajin melancarkan propaganda melalui radio bahwa pasukan Sekutu akan mengambil tindakan tegas terhadap para kolaborator Jepang di Indonesia.     Setasiun radio SEAC (South East Asia Command) di Ceylon juga sering menyiarkan informasi bahwa tentara Sekutu akan menangkapi para pemimpin Indonesia yang bekerja-sama dengan Jepang, terutama terhadap rezim Sukarno yang fasis karena mendukung pemerintahan fasis Jepang.     Panglima SWPAC (South West Pacific Area Command), Jenderal Mac Arthur dari Amerika, dengan geram menyatakan niatnya untuk menyikat habis apa yang disebutnya “penjahat perang Indonesia”.    Tidak jelas apakah kegeraman itu disebabkan oleh ucapan Sukarno di masa pendudukan Jepang bahwa: “Amerika kita seterika, Inggris kita linggis”.    
 

Sebaliknya Panglima SEAC (South East Asia Command), Jenderal Lord Mountbatten dari Inggris, tidak memberikan pernyataan sedikitpun tentang Indonesia.   Boleh jadi hal itu disebabkan karena wilayah bekas Hindia Belanda termasuk dalam wilayah SWPAC  bukan SEAC.     

Menurut Adam Malik pemimpin Indonesia yang tidak pernah bekerja sama dengan pemerintah pendudukan Jepang hanyalah Amir Syarifuddin. Sebagai Ketua AFL (Anti Facist League), Amir Sjarifuddin bahkan sempat ditangkap dan mendekam di penjara Kem Pe Tai sebelum akhirnya dibebaskan setelah Sukarno campur tangan.  Selain Amir Syarifuddin menurut saya Tan Malaka juga dapat digolongkan bukan kolaborator Jepang.      
 
Mengenai Sutan Syahrir, Adam Malik mengatakan Syahrir pernah memberikan serangkaian kuliah di salah satu asrama dinas rahasia Jepang, bagian dari Dai San Ka, Kem Pe Tai Kaigun di Jakarta,  maka dia pun termasuk yang bekerja-sama dengan Jepang walau dalam kadar yang tidak besar.

Juli 1945. Perjanjian Postdam diantara Gabungan Kepala Staf Inggris dan Amerika melahirkan perubahan yang penting bagi Indonesia khususnya bagi Sukarno dan para pemimpin Indonesia lainnya yang di masa pendudukan Jepang bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang.   Wilayah bekas Hindia Belanda dialihkan ke SEAC.   Dengan perubahan penguasaan perang tersebut, maka Sukarno dan kawan-kawannya tidak lagi terkena ancaman untuk disikat-habis oleh Jenderal Mac Arthur.    Inggris sendiri belum menyatakan sikapnya dengan jelas.    Perjanjian Postdam ini mengecewakan baik pemerintah Belanda maupun Jenderal Mac Arthur.

24 Juli 1945. Di Brabant, Nederland selatan, Pemerintah Belanda menyusun NICA (Netherlands East Indies Civil Affairs) setelah memperhatikan kemenangan Sekutu di medan perang Asia dan Pasifik.   NICA dipersiapkan untuk menerima kembali Hindia Belanda dari tangan Jepang melalui Sekutu yang berdasarkan perjanjian Postdam adalah Inggris.   Terdaftar sebanyak 50.000 sukarelawan sipil pria dan 12.000 sukarelawan sipil wanita.    Telah terbentuk pula Gezaachst Batallion dan  Expeditionaire Machten,  pasukan khusus melalui pendidikan militer di Inggris terhadap pemuda-pemuda Belanda. Semuanya siap diberangkatkan ke Indonesia.    Van Mook dan Van der Plas juga telah diperintahkan bersiap dari Brisbane, Australia, untuk segera bertugas kembali di Indonesia.

15 Agustus 1945. Berita kapitulasinya Jepang kepada Sekutu terdengar di kalangan para pemuda pejuang kota Semarang.   Ibnu Parna dan teman-temannya bergerak menyerbu ke gudang persenjataan Jepang dan tempat-tempat vital lainnya sehingga terjadi pertempuran sengit yang berlangsung selama enam hari hingga 19 Agustus 1945.

16 Agustus 1945. Di Rengasdengklok, tidak jauh dari rumah dimana Sukarno dan Moh. Hatta ditempatkan oleh Sukarni dan kawan-kawannya,  Soncho (Camat) Rengasdengklok Soejono Hadipranoto, atas perintah Sukarni melakukan upacara penaikan bendera Merah Putih bersama masyarakat di depan pendopo kawedanan Rengasdengklok.   Dalam upacara itu, Soejono Hadipranoto menekankan tentang Nippon sudah menyerah kepada Sekutu dan akan dilucuti senjatanya oleh Sekutu, maka sebagai kepala pemerintahan di daerah itu menyatakan : “Rakyat dan Bangsa Indonesia Merdeka”.

Di Cirebon juga terjadi hal yang sama.    Dr. Soedarsono dan kawan-kawannya dari kelompok Syahrir menyelenggarakan upacara bendera dan mengumumkan proklamasi kemerdekaan dengan membacakan teks yang telah disusun dan disebarkan oleh Sutan Syahrir sebelumnya.   Mereka tidak tahu bahwa Syahrir gagal meyakinkan Sukarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan hari itu di luar PPKI.    Berbeda dengan suasana di Rengasdengklok, upacara di Cirebon itu kurang memperoleh sambutan dari masyarakat luas.

17 Agustus 1945. Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.   Kenyataan ini semakin mencemaskan Belanda karena semua rencana yang semula diperkirakan akan berjalan lancar bakal menghadapi tantangan yang keras dan sulit untuk memperkirakan hasilnya.    Proklamasi kemerdekaan yang dilakukan di rumah Sukarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta itu tidak dihadiri oleh tokoh politik Sutan Syahrir dan Tan Malaka, juga tidak oleh tokoh-tokoh pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh,  Wikana dan Soebadio Sastrosatomo yang menganggap masih adanya peranan Jepang.   Padahal kecuali Sutan Syahrir dan Tan Malaka, para pemuda tersebut ikut terlibat menyiapkan naskah proklamasi bersama Sukarno, Hatta, Mr. Subardjo, Sayuti Melik dan sebagian besar anggota PPKI di rumah Laksamana Mayeda.

Mengenai peristiwa proklamasi ini, Sukarno menuturkan: “ …………………………… Sudiro, sekretaris pribadiku, mengetok pintu kamar-tidur.   Aku mendekam di atas kursi dengan kepala pada kedua belah tanganku.
“Lima orang opsir Kenpeitai telah menyerondong masuk ke kamar tengah”, ia melaporkan: “Mereka minta bicara dengan Bung Karno.   Anak-anak kita tinggal menunggu perintah.   Apa yang akan kita lakukan ?”.
Aku keluar dan berhadapan dengan Kepala Polisi yang kelihatan marah: “Apakah yang tuan lakukan, Sukarno San ?”, ia mendesak.
“Memproklamirkan kemerdekaan kami”, jawabku lunak.
“Tuan tidak boleh melakukannya”, ia menyerang: “Perintah dari pihak Sekutu kepada kami supaya meneruskan roda pemerintahan sampai mereka datang.   Dan Gunseikan minta disampaikan tentang larangan keras untuk menyatakan kemerdekaan”.
“Tapi pernyataan itu sudah diucapkan.   Saya baru saja mengucapkannya”.
Tanpa disadarinya tangannya naik ke pinggang dan ia melangkah maju seperti hendak mengancam ke arahku. …………… Kemudian orang-orang Jepang itu meninggalkan rumahku tanpa kata-kata. …………………………………….

18 Agustus 1945. PPKI bersidang di gedung Volksraad di Pejambon.   Enam orang anggota baru diumumkan    diantaranya adalah: Sukarni, Wikana, dan Chaerul Saleh mewakili Pemuda.    Baru saja rapat dibuka oleh Moh. Hatta, Chaerul Saleh mengajukan usul yang mengejutkan, yaitu: agar kegiatan diselenggarakan dengan telah memutus semua yang dapat dianggap masih ada hubungannya dengan Jepang.  Rapat PPKI ini diusulkan diganti menjadi Rapat Komite Nasional Indonesia (KNI).   Moh. Hatta  menjawab bahwa PPKI telah selesai menyusun Undang Undang Dasar bagi negara Indonesia merdeka yang telah diproklamasikan, maka PPKI masih perlu bersidang untuk mengesahkannya.   Setelah Undang Undang Dasar disahkan barulah isi dari Undang Undang Dasar itu dilaksanakan, termasuk adanya Komite Nasional Indonesia.   Dengan demikian bisa dipertanggungjawabkan terhadap PPKI sebagai penyusun meskipun dibentuk masih di masa Jepang, dan kepada rakyat karena pengesahannya dilakukan setelah Indonesia merdeka.    Ketiga tokoh pemuda itu tidak bisa menerima jawaban Hatta yang dibenarkan oleh Sukarno juga, lalu mereka meninggalkan sidang.     Rapat PPKI dilanjutkan dan memutuskan:  (1). Mengesahkan Undang Undang Dasar;   (2)  Mengesahkan secara aklamasi pengangkatan Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
Pemerintah pendudukan Jepang memerintahkan semua komandan Jepang untuk membubarkan batalyon-batalyon PETA.

19 Agustus 1945. Para pemuda bersepakat memilih Asrama Sekolah Kedokteran Tinggi di Prapatan 10 sebagai markas Pemuda.   Mereka terdiri dari pemuda-pemuda dari berbagai aliran sehingga dalam rapat-rapat sulit mengambil keputusan bersama yang tegas.   Akhirnya kelompok Sukarni dan Wikana memisahkan diri, lalu diperkuat  oleh Chaerul Saleh, Darwis, Kusnandar, Johar Nur dan lain-lainnya.  Tidak lama kemudian kelompok pemuda murba seperti Syamsuddin (Can) dan Aidit ikut pula bergabung.
PPKI melakukan rapat lagi dan memutuskan adanya 8 daerah di dalam negara Republik Indonesia sekaligus menetapkan nama Gubernur untuk setiap daerah.   Atas usul Otto Iskandardinata, rapat juga menetapkan pembubaran 66 batalion PETA (Pembela Tanah Air) dan Heiho dengan alasan akan mempersulit posisi Indonesia terhadap Sekutu karena PETA dan Heiho didirikan Jepang untuk melawan Sekutu, dan kemarin baru saja dibubarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang.
 
Panglima Tentara XVI Dai Nippon di Jawa, Letjen Nagano Yuichiro dengan resmi membubarkan PETA dan menyampaikan ucapan berpisah dan terimakasihnya.   Disusul kemudian perintah pengembalian senjata untuk dimasukkan ke dalam gudang.   Dengan tindakan ini, para mantan anggota PETA secara teoritis kehilangan persenjataan untuk kelak menghadapi NICA.    Namun di beberapa kota terjadi bentrok memperebutkan persenjataan ini.    Aceh, Banyumas dan Surabaya adalah tiga tempat yang berhasil memperoleh senjata paling banyak.    Residen Banyumas waktu itu adalah  Iskaq Tjokrohadisurjo.

20 Agustus 1945. Rapat PPKI memutuskan untuk merubah Badan Pembantu Prajurit yang dipimpin oleh Otto Iskandardinata menjadi BPKKP (Badan Penolong Keluarga Korban Perang).    Dibentuk pula BKR (Badan Keamanan Rakyat).
 

22 Agustus 1945. PPKI mengadakan rapat lagi untuk membentuk KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan mengumpulkan nama-nama calon anggota KNIP.

23 Agustus 1945. Presiden mengadakan pidato radio yang pertama kali, dimana dianjurkan agar semua bekas anggota PETA dan Heiho menyatukan diri di dalam BKR dan di suatu saat nanti akan dipanggil untuk menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia.

25 Agustus 1945. Sukarno dan Moh. Hatta tercatat dalam daftar hitam Belanda sebagai kolaborator Jepang.    Sekutu tidak lama lagi akan masuk ke Indonesia sebagai pihak yang memenangkan peperangan.   Nasib Sukarno dan Hatta dipertanyakan.  Kalau keduanya terhalang memimpin bangsa karena ditangkap oleh Sekutu, kepada siapa bangsa dan negara ini akan dipercayakan ?   Pertanyaan ini mengantar pertemuan antara Bung Karno dengan Tan Malaka di rumah Dr. Muwardi.   Tan Malaka mengusulkan disiapkannya satu strategi cadangan apabila hal yang tidak dikehendaki itu terjadi, yaitu barisan persatuan rakyat yang berjuang.    Tetapi Sukarno melihat dari sisi “pemimpin”, ia berencana membuat sebuah “surat wasiat”: bilamana Dwitunggal berhalangan karena sesuatu hal, terbunuh atau ditahan oleh Sekutu atau NICA, maka akan ditunjuk seseorang untuk menggantikan dan melanjutkan perjuangan.    Ia akan merundingkan hal itu lebih dulu dengan yang lainnya.
 

27 Agustus 1945. Presiden Sukarno mengumumkan Daftar anggota KNIP  sebanyak 137 anggota, diantaranya tercatat juga nama Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin.
Presiden mengumumkan juga susunan pimpinan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang akan dijadikan satu-satunya Partai Pelopor.  Sukarno sebagai Pemimpin utama, dan Moh. Hatta sebagai Pemimpin kedua.
Tokoh-tokoh pemuda menginginkan adanya suatu komando dari Presiden tentang gerakan rakyat yang segera dan serempak untuk mengambil alih kekuasaan beserta aset negara dari tangan Jepang.   Tetapi Sukarno-Hatta menyadari bahwa perjanjian kapitulasi Jepang terhadap Sekutu merupakan ancaman yang mengkhawatirkan apabila keinginan pemuda itu dilakukan.   Jepang yang masih bersenjata lengkap dan sudah terikat dengan perjanjian kapitulasi diperkirakan akan menentang dan melawan habis-habisan gerakan rakyat sedemikian.  Sementara itu sikap Sekutu sudah jelas, Jepang harus menjaga status quo untuk diserahkan kepada Sekutu yang bermarkas di Singapur dan telah bersiap untuk masuk ke Indonesia.     Sukarno-Hatta berpendapat harus dilakukan langkah diplomasi dengan Sekutu-Inggris, untuk meyakinkan Sekutu bahwa bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Jepang.
 
29 Agustus 1945. KNIP bersidang untuk pertama kalinya, dihadiri oleh presiden Sukarno dan Wakil presiden Moh. Hatta.   Penghubung dengan Gunseikanbu, Miyoshi, juga hadir yang menggambarkan bahwa Jepang tetap mengawasi meskipun Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, sekaligus juga tidak merintangi kegiatan politik para pemimpin Indonesia.    Selama dua hari berikutnya, rakyat berpawai menyambut telah bersidangnya KNIP tersebut.

31 Agustus 1945. Presiden Sukarno mengumumkan susunan kabinet pertama yang bersifat presidensial.    Tokoh baru yang masuk dalam kabinet adalah Amir Syarifuddin sebagai Menteri Penerangan, selebihnya pernah menjadi birokrat dalam pemerintah pendudukan Jepang.

1 September 1945. Kelompok pemuda yang memisahkan diri dari kelompok Prapatan 10 mendirikan organisasi dengan sebuah Komite van Aksi sebagai badan pimpinan. Markasnya berada di Menteng 31 Jakarta.         Program pertama yang disiarkan antara lain : (a)  Indonesia Merdeka bebas dari Pemerintahan bangsa asing;   (b)   Kekuasaan negara berada di tangan bangsa Indonesia, tidak lagi di tangan Jepang yang telah kalah perang;   (c)   Rakyat digerakkan untuk merebut senjata dan semua kantor pemerintahan, perusahaan, dan aset negara lainnya dari tangan Jepang.         Selain Komite van Aksi, didirikan pula API (Angkatan Pemuda Indonesia), BARA (Barisan Rakyat Indonesia), BBI (Barisan Buruh Indonesia).
 
Sukarno menuturkan : …………. Para pengikutku yang setia menganggap sudah seharusnya seorang “Presiden” mempunyai kendaraan, karena itu mereka “mengusahakannya”.    Sudiro mengetahui ada sebuah Buick besar muat tujuh orang dan ini adalah “mobil yang paling besar dan paling cantik di Jakarta, pakai kain jendela di bagian belakangnya”.   Sayang mobil kepresidenan ini kebetulan kepunyaan Kepala Jawatan Kereta Api bangsa Jepang.    Akan tetapi soal kecil begini tidaklah membikin pusing kepala Sudiro. Tanpa kuketahui dia pergi berburu mobil dan mendapati kendaraan itu sedang ada dalam garasi.   Kebetulan Sudiro mengenal pengemudinya dan menyampaikan pada orang itu: “Heh, saya minta kunci mobilmu”.
“Kenapa ?”, tanya orang itu kaget.
“Kenapa ?”, ia mengulangi kembali tergoncang oleh kebodohan orang itu: “Karena saya bermaksud hendak mencurinya buat presidenmu”.
“Oo, begitu, baiklah”.    Patriot itu meringis sambil keluar dari tempat-duduknya di belakang setir dan menyerahkan kunci.
“Cepat”, perintah Sudiro: “Pulang cepat ke kampungmu di Jawa Tengah sebelum ada orang yang mengetahui kejadian ini.    Dan bersembunyi baik-baik.   Kalau sekali sudah ketahuan, tentu berbahaya untukmu di sini”. ………………………………………….
Entah ada kaitannya dengan tindakan yang dilakukan oleh Sudiro tersebut atau tidak. Chaerul Saleh pun pernah melakukan sendiri penyerobotan sebuah mobil milik Jepang yang sedang diparkir di Gambir Timur no. 9, untuk     memberi contoh praktis kepada pemuda lainnya

2 September 1945. Pemerintah mengadakan rapat dengan semua Kepala daerah  dengan tujuan mengupayakan agar semua aparat negara meneruskan tugasnya sebagai aparatnya Pemerintah republik Indonesia.

3 September 1945. Komite van Aksi menggerakkan para buruh kereta api untuk melakukan perebutan Jawatan Kereta Api di Jakarta Kota, Bengkel Manggarai, Depot Jatinegara dan akhirnya seluruh kegiatan kereta api di Jakarta berhasil dikuasai tanpa perlawanan yang berarti dari pihak Jepang.   Mereka melaporkan hal itu kepada Presiden.

4 September 1945. Buruh Trem di Jakarta menyusul merebut penguasaan dari  Jepang, dikuti oleh Buruh Kolf dan Buruh Peredaran Film.

5 September 1945. Setasiun Radio Jakarta direbut dari tangan Jepang.
 
8 September 1945. Sebuah tim kecil intel Inggris secara diam-diam diterjunkan dari pesawat di lapangan terbang Kemayoran.   Secara kebetulan mereka bertemu dengan pemuda dari kelompok Syahrir diantaranya terdapat dr. Subandrio, seorang dokter muda ahli bedah yang ramah dan mahir berkelakar, lancar berbahasa Inggris maupun Belanda, Dr. Subandrio memberi penjelasan secara meyakinkan bahwa gerakan kemerdekaan di Indonesia tidak dilakukan oleh pemimpin kolaborator Jepang, melainkan oleh para pemuda dengan penuh kesadaran dan tanggung-jawab untuk menciptakan suasana politik damai dan menghidupkan demokrasi parlementer barat yang sehat.     Tom Atkinson dan Peter Humphries, dua orang anggota tim intel yang beraliran Sosialis terpikat dengan penjelasan Dr. Subandrio itu.    Kedua orang itu menyampaikannya kepada pimpinan intel Inggris yang mengirim mereka sehingga laporan tersebut sampai kepada Lord Mountbatten di Singapore.     Sejak itu pula dr. Subandrio yang tidak pernah merasakan kehidupan penuh kesulitan dan tidak pernah pula turun ke tengah masyarakat bawah untuk menghayati kesengsaraan rakyat jelata, tiba-tiba muncul sebagai tangan kanan Sutan Syahrir.

Penjajagan Sekutu 


15 September 1945. Rombongan Laksamana Patterson tiba di Jakarta dimana ikut serta  dua orang pejabat NICA (Netherland Indies Civil Administration), Dr. Ch. O. van der Plas dan Kolonel Abdul Kadir Widjojoatmodjo.    Setelah mengamati keadaan di Jakarta, Dr. Van der Plas mengusulkan kepada Laksamana Patterson agar Sekutu mengambil tindakan terhadap Sukarno dan Moh.Hatta, mengambil alih semua departemen dari tangan Jepang dan menyerahkannya kepada Belanda.    Tetapi para perwira Inggris justru menyarankan agar Inggris sebagai Sekutu yang memenangkan peperangan berunding dengan Sukarno-Hatta sebagai wakil dari Republik Indonesia.     Saran itu kemudian menjadi sikap dasar Sekutu yang disampaikan oleh Laksamana Mountbatten kepada Dr. Van der Plas di Singapura.
 
19 September 1945. Tokoh-tokoh pemuda dalam Komite van Aksi menggagas suatu rapat akbar untuk menggelorakan semangat kemerdekaan rakyat dan mengoptimalkan momentum.   Setelah diyakinkan oleh para pemuda pemerintah mengirim utusan kepada Gunseikanbu, memberitahu bahwa rapat akbar akan diteruskan dan segala akibat yang mungkin terjadi akan dipikul oleh pemerintah Republik.        Jenderal Nagano menempat-kan panser-panser di sekeliling Lapangan Ikada.       Massa rakyat berduyun-duyun datang ke Lapangan Ikada, Jakarta, tidak mempedulikan larangan dan ancaman prajurit Jepang.   Iring-iringan mobil yang membawa Sukarno dan Hatta tiba di Ikada dikawal oleh pemuda dan dipandu oleh Daan Yahya serta Soebianto yang mengendarai sepeda motor.    Presiden Sukarno naik ke podium dan berpidato tidak terlalu panjang tetapi memperoleh sambutan rakyat dengan gegap gempita.    Meskipun demikian para pemuda masih merasa kurang puas karena pidato Presiden Sukarno tidak memberikan petunjuk program kerja jangka pendek yang harus dilakukan bangsa Indonesia dalam masa peralihan kekuasaan dari Jepang kepada Sekutu.

20 September 1945. Jepang menangkapi tokoh-tokoh pemuda yang ada di gedung Manteng 31 dan dimasukkan ke dalam penjara Bukitduri.   Bentrokan-bentrokan sering terjadi antara rakyat dengan tentara Jepang di seluruh kota Jakarta.     Karena penjara Bukitduri kurang terjaga dengan baik, maka para pemuda itu berhasil meloloskan dirinya.
23 September 1945. Di Surabaya terbentuk PRI (Pemuda Republik Indonesia)   Gedung Kempetai diserbu dan diduduki.   Pergolakan pun  terjadi di Yogyakarta (25 September), Bandung (28 September), Malang dan Surakarta (30 September) dan pemuda berhasil membebaskan kota-kota itu dari penguasaan Jepang.
Sekutu mendarat
29 September 1945. Tentara NICA yang berbaju tentara Sekutu ikut mendarat bersama 2000 tentara Inggris mendarat di Tanjungperiuk Jakarta.  

Tentang hal ini Sukarno menuturkan: …………….   Pendaratan pertama terdiri dari pasukan Inggris dan membawa bersama-sama dengan mereka serombongan wartawan-asing.   Konperensi pers kami yang pertama diadakan di beranda muka Pegangsaan Timur 56. Wartawan-wartawan itu sangat agresif.    Ada yang berdiri. Ada yang duduk.   Dan semua mengajukan pertanyaan dengan bertolak-pinggang dan dengan rokok bergerak-gerak melekat di mulutnya………………….  Kuli-kuli tinta ini tidak banyak bertanya padaku.   Mereka hanya menuduh.   Sebagaimana dugaanku tuduhannya yang utama ialah “Tuan kollaborator Jepang, bukan ?”.   Seorang Inggris dari Singapura ingin mengetahui, “Mengapa pidato-pidato tuan yang kami dengar di radio, berulangkali menyatakan hendak mendupak Pasukan Sekutu dari daratan pulau Jawa ?”.    Kami menyajikan air teh.   Sekalipun sifat mereka kasar, tapi aku seorang tuan-rumah yang cukup sopan.   Dengan sabar aku menerangkan: “Di tahun ’42 kami tidak terlatih samasekali dan saya merasa taktik itu yang paling baik supaya Jepang sebanyak mungkin berbuat untuk kami.   Coba teliti kembali hasilnya pada kedua belah pihak dan orang akan melihat bahwa Sukarno lebih banyak memperoleh hasil dari Jepang daripada sebaliknya”. Aku sama sekali tidak kehabisan kata-kata dan mencoba sedapatku supaya menyenangkan tamu-tamu.    Akan tetapi sebagaimana yang kualami dalam hidupku dengan wartawan Barat, sebagian besar berita yang dibuatnya tidak menyenangkan. …………………………….
Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies), Letjen Sir Phillip Christison, mengatakan bahwa Republik Indonesia merupakan sebuah realitas yang dapat membantu melaksanakan misi tentara Sekutu.  Pengakuan de facto Panglima AFNEI itu meresahkan Belanda.  Situasi keamanan di Jakarta menjadi buruk.   Tentara Belanda melakukan patroli dan mengacau dimana-mana.   Mobil Presiden Sukarno yang sedang lewat diserang sehingga supir mengalami luka tembak.   Presiden Sukarno kebetulan tidak ada di dalam mobil.   Seluruh teror yang dilakukan oleh tentara Belanda itu dilakukan di depan hidung tentara Inggris yang tidak berbuat apa-apa.                                                         

Sukarno menuturkan:……….. Mereka benci kepadaku.   Mereka mencoba menghancurkan kendaraanku.   Mereka menembaki dan hampir membunuh supirku.   Tentara mereka terorganisir baik.    Tentara kami tidak.    Kami tidak punya disiplin, tidak punya staf.   Bahkan tidak punya makanan! Aku tidak digaji.   Dari siapa ?. Siapa yang akan memberiku gaji ?.   Di satu malam para menteri berkumpul di Pegangsaan sampai jauh malam mengadakan sidang darurat dan kami tidak punya kopi ataupun sepotong roti untuk dihidangkan.   Tukimin pergi dengan mobilku berusaha meminjam makanan untuk Presidennya.   Malam itu Belanda mengintai-intai hendak menembakku.   Perintah mereka, “Bunuh Sukarno kalau kelihatan”.   Karena mengira bahwa aku berada di dalam “mobil Sukarno”, serdadu NICA dengan sengaja melanggarkan truk pada mobil itu.   Mereka meloncat ke luar pada saat yang terakhir, dan truk itu menubruk mobilku.   Mobil itu hancur.   Tukimin pun tentu hancur kalau pasukan pemuda tidak segera membawanya ke rumah-sakit. ………………..
 
1 Oktober 1945. Sukarno, Hatta, dan Tan Malaka bertemu di rumah Mr. Subardjo.   Mereka membahas ide “surat wasiat” yang pernah dicetuskan sebelumnya.   Sukarno menyebut nama Tan Malaka, sedangkan Hatta menambahkan nama lain yaitu: Sutan Syahrir, Iwa Kusumasumantri, dan Wongsonegoro, sebagai pemegang mandat untuk meneruskan perjuangan dan kepemimpinan nasional bila Dwitunggal berhalangan.    Testamen itu dibacakan dalam sidang kabinet berikutnya.   Ini menunjukkan kesiapan Sukarno dan Hatta dalam menghadapi berbagai kemungkinan. AMANAT KAMI
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu, adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan per-keadilan.
Setelah kami menyatakan kemerdekaan Indonesia atas dasar kemauan rakyat Indonesia sendiri pada 17 Agustus 1945 bersandar pada Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan hasrat rakyat untuk mendirikan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Maka negara Indonesia menghadapi bermacam-macam kesulitan dan rintangan yang hanya bisa diselesaikan oleh rakyat yang bersatu-padu serta gagah berani di bawah pimpinan yang cerdik, pandai, cakap dan tegap.
Sedangkan sejarah dunia membuktikan pula, bahwa pelaksanaan cita-cita kemerdekaan itu bergantung pada kesanggupan seluruh rakyat untuk memberi korban apapun juga, seperti sudah dibuktikan oleh negara-negara atau bangsa-bangsa yang besar di Amerika Utara dan Selatan, di Eropa Barat, di Rusia, Mesir, Turki dan Tiongkok.
Syahdan datanglah saatnya buat menentukan ke tangan siapa akan ditaruhkan  obor kemerdekaan, seandainya kami tiada berdaya lagi akan meneruskan perjuangan kita di tengah-tengah rakyat sendiri.
Perjuangan rakyat kita seterusnya menetapkan kemerdekaannya hendaklah tetap di atas dasar persatuan segala golongan rakyat dengan menjunjung tinggi Republik Indonesia, seperti yang tercantum pokok-pokoknya dalam Undang-Undang Dasar kita.
Bahwasanya setelah selesai kami pikirkan dengan saksama dan periksa dengan teliti, pula dengan persetujuan penuh dengan para pemimpin yang ikut serta bertanggung-jawab.
Maka kami putuskanlah, bahwa pimpinan perjuangan kemerdekaan kita akan diteruskan oleh saudara-saudara: Tan Malaka, Iwa Koesoemasoemantri, Sjahrir, Wongsonegoro.
Hidup Republik Indonesia !     Hidup Bangsa Indonesia !
Jakarta, 1 Oktober 1945
Sukarno     Moh. Hatta

10 Oktober 1945. Di Singapur Panglima SEAC , Jenderal Lord Mountbatten, menegaskan kepada para perwiranya bahwa tokoh Sukarno tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
 

11 Oktober 1945. Kolonel Abdul Kadir Widjojoatmodjo selaku penghubung tentara Sekutu bertemu dengan presiden Sukarno, dan merupakan kontak yang pertama kali antara Indonesia dengan seorang wakil Belanda.    Tetapi pemerintah Belanda melalui Menteri Urusan Daerah Seberang Lautan Belanda, Logeman,  menginstruksikan kepada Letnan Gubernur Jenderal Dr. Van Mook, untuk tidak lagi mengadakan hubungan dengan Ir. Sukarno.   Sikap Belanda ini merisaukan Menteri Luar Negeri Inggris, Ernest Bevin, yang mendesak agar perundingan dengan Indonesia dilanjutkan.     Belanda bersikukuh tidak akan melanjutkan perundingan  dengan Ir.Sukarno.     Belanda menilai dari semua pemimpin Indonesia hanya Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin yang dianggap bersikap moderat terhadap Belanda.   Sikap pemerintah Belanda itu ditambah dengan kekecewaan terhadap Sukarno dan Hatta yang dianggap tidak tegas terhadap Jepang yang sudah kalah, ditindaklanjuti oleh sekelompok anggota KNIP untuk mengupayakan tampilnya Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin dalam panggung politik Indonesia Merdeka, agar tidak terjadi kemacetan dalam perundingan lebih lanjut dengan Belanda.   Mereka ini adalah tokoh-tokoh yang pernah menilai Sukarno dan Hatta cacat politik karena bekerja-sama dengan Jepang atau yang menghendaki kemerdekaan tidak dilakukan melalui BPUPKI dan PPKI bentukan Jepang.   Pemuda kelompok Syahrir dan Menteng 31 mencoba membujuk, namun Sutan Syahrir minta bertemu terlebih dahulu dengan Tan Malaka.
Para pemuda berhasil mempertemukan Sutan Syahrir dengan Tan Malaka di Bogor.   Dicapai kesepakatan bahwa: segala apa yang sudah diproklamirkan bersama-sama diperjoangkan dengan memberikan segenap tenaga untuk mempertahankan Republik yang sudah didirikan. Disepakati Sutan Syahrir akan memimpin KNI sementara Tan Malaka diminta membantu dari belakang secara diam-diam.     Syahrir memposisikan Tan Malaka sebagaimana dulu dia mengambil posisi tatkala Jepang masuk ke Indonesia, yaitu “bermain di belakang layar”.    Tidak jelas mengapa Tan Malaka menerima posisi sedemikian sedangkan saat itu sudah bukan menghadapi penjajah melainkan mengisi kemerdekaan yang sudah diproklamasikan.
Pelanggaran konstitusi

16 Oktober 1945. Sidang KNIP menyetujui perubahan fungsi dari semula Badan Eksekutif pembantu Presiden menjadi Badan Legislatif, dan dibentuk pula Badan Pekerja KNIP.     Wakil presiden Moh. Hatta menyetujui langkah itu dengan menerbitkan Maklumat Negara RI No. X yang mengesahkan perubahan tersebut.

17 Oktober 1945. Sidang KNIP meminta Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin menjadi pimpinan KNIP dan melaksanakan Maklumat Negara RI No. X serta menyusun Badan Pekerja.    Kedua tokoh yang anti Jepang itu bersedia melaksanakan amanat tersebut karena menyadari bahwa Sekutu telah menguasai keadaan dibawah Letjen  Christison.

18 Oktober 1945. Badan Pekerja KNIP langsung bekerja antara lain mendesak Pemerintah untuk mengumumkan program politiknya.  Karena pemerintah masih sibuk mengurusi pasang naik semangat pemuda dan rakyat yang mengambil alih bahkan terpaksa berhadapan dengan tentara Jepang, juga menghadapi Sekutu yang baru saja masuk dengan membawa serta NICA di satu pihak dan Jepang yang berusaha melaksanakan semua perjuanjian kapitulasinya antara lain mempertahankan status quo di Indonesia, maka Badan Pekerja menyusunnya sendiri berupa Maklumat Politik Pemerintah Republik Indonesia dan UU No. 1 tentang pemerintah daerah.

 

25 Oktober 1945. Brigade 49 divisi India 23 AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) di bawah pimpinan Brigjen Mallaby merapat di dermaga Tanjung Perak  Surabaya.   Gubernur Jawa Timur minta agar AFNEI menghubungi dulu Pemerintah RI di Jakarta sebelum mendaratkan tentaranya, dan juga menolak pasukan NICA ikut serta mendarat.    Permintaan pemerintah lokal Surabaya ini tidak diindahkan Inggris.   Tentara Inggris menduduki gedung-gedung pemerintah dan memerintahkan semua orang Indonesia agar menyerahkan senjatanya dengan ancaman hukuman mati.

28 Oktober 1945. Di Sulawesi Selatan terjadi perlawanan rakyat terhadap Sekutu dan Belanda dipimpin antara lain oleh Walter Mongisidi.   Juga di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.  .
Rakyat Surabaya melawan dengan sengit tentara Sekutu Inggris yang ternyata diboncengi oleh NICA.   Pertempuran merebak di seluruh penjuru kota.   Brigade 49 nyaris terdesak.
 
29 Oktober 1945. Jenderal Hawthorn yang telah terjepit posisinya minta bantuan Sukarno dan Moh. Hatta yang segera pergi ke Surabaya untuk memerintahkan penghentian tembak-menembak yang segera dipatuhi oleh rakyat dan para pejuang Surabaya.  Kewibawaan Sukarno-Hatta terhadap rakyatnya itu menimbulkan kesan tersendiri di kalangan pimpinan Sekutu Inggris.
Sukarno menuturkan: ……………… Inggris telah menduduki beberapa gedung dan menempatkan markas besarnya di pusat kota Surabaya. Kota itu menjadi kota neraka.   Di setiap penjuru jalan terjadi perkelahian hebat satu-lawan-satu.   Mayat bergelimpangan dimana-mana.   Tubuh-tubuh yang telah dipenggal dan dicincang bertumpuk-tumpuk, yang satu di atas yang lain.   Kematian sedang bersimaharajalela di jalan-jalan.   Rakyat Indonesia menembak-nembak, menikam dan membunuh dengan galak.   Setiap orang bertempur.   Setiap orang berkelahi dengan apa saja yang ada padanya.   Para pemuda dengan pentung.   Orang tua-tua dengan do’a. ……………………… Selama dua jam Wakil presiden Hatta denganku berbicara menghadapi orang Inggris.   Mereka memperlakukan kami dengan layak.   Caranya tidak berlebih-lebihan.    Tidak terlihat sikap yang yang biasanya diperlihatkan terhadap Kepala Negara.    Akan tetapi mereka memintaku datang oleh karena memerlukan bantuanku …… jadi setidak-tidakanya mereka memperlihatkan penghormatan.   Kami bermufakat untuk mengadakan Gencatan Senjata……… Aku berkeliling ke seluruh penjuru di mana saja pahlawan-pahlawan muda kami berada dan berbicara berhadap-hadapan muka dengan mereka…… Aku terus berkeliling satu hari dan satu malam meneriakkan: “Hentikan pertempuran.   Kita mengadakan gencatan senjata dan tetaplah di tempatmu masing-masing.   Jangan menembak.   Itu perintah saya.   Hentikan pertempuran segera”. ……… di saat mereka melihatku dan mendengar suaraku, mereka tunduk………  Aku menghentikan pertempuran ini pada tanggal 3 Nopember. ……………………………………. Beberapa hari kemudian komandan dari pasukan Inggris di Surabaya, Brigadir Jenderal Mallaby mati terbunuh.   Jenderal ini tidak begitu disenangi oleh anak-buahnya sendiri.   Oleh karena itu tidak pernah terbukti, pihak mana yang melakukan pembunuhan itu. ……….. Inggris menggunakan peristiwa ini sebagai dalih untuk menuntut “Penyerahan Segera Tidak Bersyarat” ……………………………………..

30 Oktober 1945. Pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Inggris, Sir William Denning, yang membantu Panglima Tentara Sekutu, Letjen Sir Phillip Christison, mempertemukan Sukarno, Moh.Hatta dan Amir Sjarifuddin dari Indonesia dengan Van Mook, Van der Plas, dan Idenburg dari Belanda walaupun sebelumnya Van Mook selalu mengatakan tidak dapat mengakui tokoh Sukarno.    Pertemuan dengan Sukarno itu membuat gusar pemerintah Belanda di Den Haag yang kembali menegaskan sikap pemerintah Belanda untuk tidak mau berhubungan dengan Sukarno pribadi dan karena itu tidak akan melakukan perundingan dengan Indonesia.    Menteri Luar Negeri Inggris, Ernest Bevin, menyesalkan keterangan pemerintah Belanda tersebut dan mengharapkan perundingan Indonesia dengan Belanda bisa dilanjutkan.

1 November 1945. Wakil Presiden Moh. Hatta menandatangani Maklumat Politik Pemerintah RI.    Sistim satu partai dihapus dan diganti dengan multi partai dalam rangka menghadapi pemilihan umum yang harus diselenggarakan pada tanggal 1 Januari 1946 sesuai ketentuan dalam Aturan Peralihan UUD 1945.      Kelompok Syahrir membakar-bakar antipati terhadap Pemerintah dengan menilai bergerak lamban dan terbebani oleh perasaan berdosa terhadap Sekutu.   Provokasi mereka segaris dengan propaganda Belanda bahwa “Republik Indonesia adalah bikinan Jepang, dan pemimpin-pemimpinnya kolaborator Jepang”.
Sutan Syahrir tidak setuju dengan esensi Surat Wasiat / Testamen pimpinan negara dan bangsa, walaupun namanya tersebutkan.    Apabila permasalahannya terletak pada Dwitunggal manakala berhalangan maka  Dwitunggal sebaiknya hanya sebagai simbol saja, sehingga manakala benar Dwitunggal berhalangan, jangan sampai mengganggu sistim ketata-negaraan.    Maka Syahrir menggunakan Badan Pekerja KNIP untuk menyarankan agar dibentuk kabinet parlementer pengganti kabinet presidensial yang ada di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno.    Sukarni sangat mendukung gagasaan mengganti pemerintahan Sukarno karena ia kecewa dengan sikap Sukarno yang memerintahkan penghentian tembak-menembak di Ambarawa dan Surabaya.   Sutan Syahrir ditunjuk sebagai formatur penyusun kabinet.   Hari itu juga keputusan Badan Pekerja KNIP tersebut disampaikan kepada Wakil Presiden Moh. Hatta.    Setelah Syarhrir dan Moh. Hatta berunding sekitar 20 menit lamanya, Wakil Presiden menyatakan persetujuannya.    Kemudian Syahrir mengirim Soedjatmoko dan Soebadio Sastrosatomo untuk menjemput Presiden Sukarno yang pada saat itu sedang berada di luar kota.

9 November 1945. Presiden Sukarno menunjuk Sutan Syahrir yang masih berumur 36 tahun sebagai Perdana Menteri sekaligus formatur kabinet parlementer yang pertama kali.
 

10 November 1945. Situasi di Surabaya memburuk.   Inggris memperkuat pasukannya.   Jenderal Mansergh mengultimatum pemuda Indonesia untuk menyerahkan senjatanya.  Ultimatum itu ditolak mentah-mentah.    Pukul 06.00 pagi tentara Inggris mulai menyerang dan Bung Tomo menyeru pemuda dan rakyat Surabaya untuk bangkit melawan.   Pertempuran yang sengit meletus dan merebak.  Tercatat sebanyak 16.000 orang Indonesia tewas di Surabaya dalam pertempuran heroik tersebut.
Sukarno menuturkan: …………. Pertempuran mati-matian.   Patah tumbuh hilang berganti.   Seorang gugur, dua bangkit.   Dua gugur, empat orang maju sebagai gantinya. ………………..  Inilah saat yang maha hebat.   Aku gugup.   Salah satu saat yang jarang terjadi di mana aku menjadi sangat gugup, sekalipun aku tak pernah memperlihatkannya.   Satu-satunya tanda dapat dilihat dari jariku yang memukul-mukul. “Akh, apa akalku … apa yang harus kuperbuat”, pikirku.     Aku tampil dengan seruan kepada dunia.   Aku berpidato dalam bahasa Inggris., pakai tape-recorder dan kemudian disiarkan, yang ditujukan ke London.   Aku memprotes PBB.   Aku mengirim telegram kepada Presiden Truman minta jasa-jasa baiknya, oleh karena tentara yang membunuh kami memakai perlengkapan dan truk-truk dengan tanda Amerika Serikat, hal mana membangkitkan “kecurigaan yang wajar dari rakyat Indonesia yang tidak memusuhi Amerika”.   Tak seorangpun menolong. ……… arwek-arek Surabaya melawan dengan gagah berani hingga November tanggal 30. ……………………….

14 November 1945. Kabinet Syahrir terbentuk.  Sutan Syahrir menyingkirkan tokoh-tokoh yang sebelumnya aktif dalam BPUPKI dan PPKI bentukan Jepang, diganti dengan tokoh-tokoh yang menjadi pendukungnya, antara lain Amir Sjarifuddin.   Sebagai Perdana Menteri yang memimpin eksekutif maka Sutan Syahrir siap untuk menjadi Ketua delegasi RI di dalam perundingan dengan Belanda.   Di lain pihak, Belanda pun bersedia meneruskan perundingan karena Indonesia tidak diwakili oleh Sukarno.     Konstelasi politik di Indonesia menunjukkan pimpinan oleh trio Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir, setelah selama tiga bulan dipimpin oleh Dwitunggal Bung Karno-Bung Hatta.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.     Ini adalah kalimat terakhir dari bunyi proklamasi kemerdekaan yang dalam pelaksanaannya menimbulkan silang sengketa.   Sukarno lebih menekankan pada kata “saksama”, sehingga ia banyak mempertimbangkan trikondisi dalam setiap tindakan yang akan diambilnya.   Semua kondisi dia perhitungkan.   Jepang akan berreaksi bagaimana, Sekutu Inggris akan memahami apa tidak,  Sekutu Belanda akan bertindak apa, dan apakah rakyat Indonesia akan menghadapi bencana dan penderitaan besar dari suatu langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Para pemimpin pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Wikana dan Adam Malik, lebih menekankan pada bagian kalimat “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.    Mereka melihat momentum puncak itu harus digarap secara optimal agar kemerdekaan yang telah diproklamirkan tidak terhempas kandas di awal perjalanan.   Mereka kecewa mengapa PETA dan Heiho dibubarkan, padahal mereka masih memegang senjata dan sudah terlatih dalam teknik pertempuran manakala diperlukan.    Mengapa kantor-kantor pemerintahan dan perusahaan tidak segera dikomandokan untuk dikuasai oleh rakyat dari tangan Jepang, sedangkan Jepang sudah kalah perang dan Sekutu belum lagi datang.     Mereka tidak percaya Jepang yang sudah kalah perang itu akan melawan rakyat dan pemuda dengan senjata secara membabi-buta sehingga akan menimbulkan banyak korban pada rakyat.   Mereka pun ingin “membersihkan”  noda “bikinan Jepang”  terhadap kemerdekaan nasional yang sudah diproklamasikan.    Mereka anti Jepang sekaligus juga anti Belanda yang akan kembali datang ke Indonesia.
 
Sutan Syahrir pada hakekatnya sepaham dengan Sukarni dan kawan-kawannya dalam masalah noda “bikinan Jepang”, namun dia bersikap diam menunggu saat dimana sudah dapat dipastikan kedatangan Sekutu dan pasukannya di Indonesia.    Ia membenci fasisme dan telah menyerap pengetahuan di negeri Belanda tentang Demokrasi, Liberalisme serta Sosialisme.   Bagi Syahrir berhubungan dengan Sekutu melalui meja perundingan lebih memudahkan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya.   Belanda akan mudah dikendalikan melalui Sekutu, yaitu Inggris dan Amerika.


Berada di tengah tarik-menarik ketiga kekutan besar itu, Sukarno, Sukarni dan Sutan Syahrir, adalah Mohammad Hatta.     Tokoh intelektual yang jujur ini telah bekerjasama dengan Sukarno selama pemerintah pendudukan Jepang.   Hatta menyesalkan Sutan Syahrir yang mencemooh Sukarno dan dengan demikian juga Hatta sendiri dalam menyikapi pemerintah pendudukan Jepang, karena sikap mereka justru telah menjadi kesepakatan di antara mereka bertiga.    Hatta dan juga Sukarno memahami apa yang dilakukan Syahrir “di bawah tanah”, maka seharusnya Syahrir pun memahami apa yang Sukarno dan Hatta lakukan “di atas tanah”.     Di sisi lain, Mohammad Hatta yang juga menempuh pendidikan ekonomi di negeri Belanda tidak sepakat dengan pola pikir sentralisme yang tidak demokratis, kepemimpinan yang mengandalkan kewibawaan pribadi dan pemikiran yang mengesampingkan analitis.   Hatta menyadari pribadi Sukarno cenderung ke arah kepemimpinan yang sedemikian, karena itulah maka ia terpaksa “mendahului” Sukarno ketika menyetujui perubahan fungsi KNIP menjadi badan legislatif dan juga menyetujui sistim pemerintahan parlementer, walaupun dia terlibat aktif di dalam BPUPKI dan PPKI yang menyusun UUD 1945 dimana sistim pemerintahan presidensial justru yang ditetapkan.
 
Tokoh pemimpin lain yang selalu berada di bawah permukaan adalah Tan Malaka.    Ia tidak terlibat di dalam persiapan Indonesia Merdeka melalui BPUPKI dan PPKI.   Ia pun tidak seperti Syahrir dilibatkan dalam persepakatan politik dengan Sukarno dan Mohammad Hatta dalam menyikapi pemerintah pendudukan Jepang.      Tan Malaka menghabiskan banyak waktunya di luar-negeri dan menjadi penggerak massa yang justru membeci baik fasisme Jepang, Nazi Jerman dan  Mussolini Italia, maupun kolonialisme – imperialisme yang dianut oleh  Inggris dan Belanda dalam Sekutu.     Ia menyelinap pulang kembali ke Indonesia secara diam-diam, menyembunyikan diri dari pemerintah pendudukan Jepang.    Tatkala pasukan Sekutu mendarat di Indonesia pun Tan Malaka tetap menyembunyikan diri.    Para pemimpin Indonesia lain hanya mendengar nama Tan Malaka dari pemberitaan dan buku-buku politik karangannya.    Tidaklah mengherankan kalau keberadaan Tan Malaka kembali di Indonesia menimbulkan keinginan untuk bertemu dari para pemimpin Indonesia lainnya.    Sukarno, Hatta, Syahrir, Sukarni, secara diam-diam mencari penghubung untuk bisa bertemu dengan Tan Malaka.    Sukarno langsung menunjuk Tan Malaka di dalam testamen politik yang dibikinnya.    Setelah memegang testamen-politik dari Sukarno, Tan Malaka tetap menjadi tokoh yang tidak tampil ke depan.   Syahrir pun memperhitungkan posisi Tan Malaka ketika para tokoh pemuda anggota KNIP membujuknya untuk mau tampil memimpin KNIP.    Mereka dipertemukan oleh para pemuda, keduanya membuat suatu kesepakatan bersama, dan Syahrir memposisikan Tan Malaka kembali di “bawah permukaan” untuk mendukungnya di dalam KNIP.     Tokoh ini diakui kebesarannya tetapi seperti tidak dikehendaki pemunculannya di dalam arena praktis.    Tan Malaka menjadi tokoh legendaris yang samar di dalam blantika politik bangsa Indonesia.
—000—